Sabtu, 12 November 2011

Perlawanan Terhadap Kolonialisme di Bali


PERLAWANAN TERHADAP KOLONIALISME DI BALI
1.      Pendahuluan
Hubungan masyarakat Bali dengan bangsa Belanda terjadi pada abad ke-17. Ketika itu, VOC sering mengadakan hubungan dagang. Sering kali VOC berusaha untuk mengadakan perjanjian dengan raja-raja Bali, tetapi tidak berhasil. Di Pulau Bali pada saat itu terdapat beberapa kerajaan, yaitu Buleleng, Karangasem, Klungkung, Gianyar, Badung, Jembrana, Tabanan, Mengwi, dan Bangli.
Usaha Belanda untuk mengadakan perjanjian dengan kerajaan yang ada di Bali baru berhasil pada tahun 1841 saat raja Karangasem meminta bantuan dari pemerintah Belanda untuk memulihkan kekuasaannya di Lombok. Hal ini dimanfaatkan oleh pemerintah Belanda mengikatnya dengan perjanjian dan membuka hubungan politik dengan seluruh kerajaan di Bali.
Perjanjian itu ditandatangani oleh Raja Klungkung, Badung, Buleleng dan Karangasem. Dalam perjanjian itu disebutkan raja-raja Bali mengakui kekuasaan Belanda dan mengizinkan pengibaran bendera Belanda di daerahnya. Dalam perjanjian tersebut terlihat bahwa pemerintah Belanda ingin memperluas daerah kekuasaannya.
Masalah yang menyulitkan hubungan Belanda dengan Kerajaan Bali adalah berlakunya Hak Tawan Karang, yaitu hak Raja Bali untuk merampas perahu yang terdampar di wilayahnya. Belanda banyak mengalami kerugian dengan berlakunya Hak Tawan Karang tersebut. Pada tahun 1844, di Pantai Pracak dan Sangit terjadi perampasan terhadap kapal-kapal Belanda yang terdampar. Asisten Residen Banyuwangi Ravia de Lignij datang ke Bali untuk membuat perjanjian penghapusan Hak Tawan Karang ini. Dia pun menuntut Kerajaan Bali tunduk kepada kekuasaan Belanda.
Raja Buleleng dan patihnya menolak kedua tuntutan itu. Apalagi Belanda menuntut ganti rugi atas kapal-kapalnya yang dirampas. Raja Buleleng, I Gusti Ngurah Made dan patihnya, I Gusti Ketut Jelantik segera menyiapkan pasukannya beserta perlengkapan untuk menentang Belanda. Pada tanggal 24 Juni 1846, Belanda mengirimkan ultimatum agar dalam tempo 3 x 24 jam, Raja Buleleng mengakui kekuasaan Belanda dan menghapuskan Hak Tawan Karang. Namun hingga batas waktu tanggal 27 Juni 1846, Raja Buleleng tetap menolak. Selain Raja Buleleng, Kerajaan Karangasem juga telah menyatakan sikap menentang pemerintah Belanda.
2.      Jalannya Perang
Situasi di Bali menjadi tegang karena sikap kerajaan Buleleng dan Karangasem. Dalam keadaan demikian, Gusi Jelantik mempersiapkan parajurit kerajaan Buleleng dan memperkuat kubu-kubu pertahanan untuk menjaga kemungkinan apabila sewaktu-waktu Belanda mengadakan penyerangan.
Setelah diketahui raja Buleleng tidak memberikan jawaban atas ultimatum, pasukan Belanda mulai mengadakan pendartan. Prajurit-prajurit Bali sementara telah bersiap-siap untuk menyambut serangan pasukan yang mendarat. Tembak-tembakan mulai berlangsung. Tembakan-tembakan meriam dari kapal Belanda telah menyebabkan pasukan Bali mundur dari daerah pantai. Pertempuran meluas sampai di kampung-kampung dan sawah-sawah.
Pertahanan prajurit Bali yang berada di kampung-kampung dekat pantai satu demi satu akhirnya jatuh ke tangan Belanda. Demikian pula benteng prajurit Bali di Buleleng setelah dipertahankan dengan gigih pada tanggal 28 Juni 1846 terpaksa ditinggalkan dan diduduki oleh pasukan Belanda.
Raja Buleleng dan gusti Jelantik besarta pasukannya terpaksa mundur ke Jagaraga Jelantik dan berdamai dengan Belanda. Dalam perjanjian yang diadakan, Belnda mengajukan syarat, bahwa didalam waktu tiga bulan raja Byuleleng harus mengahapuskan benteng-bentengnya raja buleleng harus pula mengganti ¾ jumlah biaya perang yang telah dikeluarkan Belanda. Dlam perjanjian yang diadakan pada tanggal 6 Juli 1946 itu juga disebutkan, Belanda diperbolehkan menempatkan serdadu-serdadu di Buleleng dalam suatu benteng yang akan segera dibuat.
Meskipun telah diadakan perjanjian, tidak berati kedua kerajaan tersebut sepenuhnya tunduk. Situasi di Bali ini menimbulkan kegelisahan pemerintah Hindia Belanda di Batavia. Raja-raja Buleleng, Karangasem, dan Klungkung menerima ultimatum dari pemerintah Hindia Belanda yang isinya: agar raja-raja tersebut segera menyerahkan serdadu-serdadu Belanda dan tahanan yang melarikan diri; agar dalam waktu 14 hari telah mengirimkan utusan terdiri terdiri dari dari orang-orang terkemuka untuk minta maaf.
Raja-raja Bali tidak memperdulikan ultimatum tersebut, sebaliknya makin giat memperkuat pasukannya. Pada tanggal 6 Juni 1848 di Sangsit mendarat sebagian pasukan Belanda.
Didalam pertempuran yang terjadi selama tiga jam di empat benteng Jagaraga tersebut, pasukan Bali telah dapat menewaskan lima Opsir, dan juga 74 serdadu Belanda. Di samping itu tujuh Opsir dan 98 serdadu menderita luka-luka. Jenderal van der Wijck yang memimpin pasukan darat tidak erhasil memukul mundur pasukan Bali meninggalkan garis pertahanan. Karenanya ia menarik mundur pasukannya, kembali ke pantai.
Kegagalan ekspedisi militer Belanda ke Bali pada tahun 1848 menambah kepercayaan raja-raja Bali akan kekuatan mereka. Sementara itu militer kerajaan-kerajaan makin ditingkatkan. Benteng-benteng pertahanan baru dibangun, seperti di Kusumba, Klungkung, Karangasem.
Kekhawatiran raja-raja Bali bahwa Belanda akan datang lagi di Bali, ternyata menjadi sebuah kenyataan. Pada akhir bulan Maret dan awal bulan April 1949 pasukan Belanda dibawah pimpinan Jenderal Michiels mendarat di Bali. Teksin pendarat bergelombang, dan sasaran adalah benteng Jagaraga. Pada tanggal 31 Maret 1849 sebagian pasukan Belanda berkekuatan 700 orang, terdiri dari Angkatan Darat dan Laut, mendarat di pantai Buleleng.
Raja Buleleng mengirim utusan untuk menemui pasukan Belanda di Singaraja, bahwa ia bersedia mengadakan perdamaian. Kemudian raja Buleleng dan Karangasem mengirimkan utusan pada tanggal 2 April 1849.
Dalam pertemuan, Jenderal Michiels mengajukan pokok-pokok perjanjian yang antara lain menyebut bahwa raja Buleleng dan Karangasem harus mengakui kekuasaan Hindia Belanda; mereka harus mengosongkan dan menyerahkan benteng Jagaraga dan menyerahkannya kepada Belanda.
Pada tanggal 11 April pertemuan diadakan lagi di Sangit, pihak Belanda menuntut agar pada tanggal 15 April benteng Jagaraga sudah mulai diruntuhkan, dengan ancaman jika sampai tanggal tersebut tidak dilakukan maka perjanjian perdamaian batal.
Sampai tangga 15 April raja-raja tidak juga mulai membongkar benteng. Suasana menjadi tegang dan pertempuran meletus lagi. Prajurit-prajurit Bali melepaskan tembakan-tembakan dari pertahanan mereka, dan dapat  menahan serangan tentara dari berbagai arah. Serdadu Belanda kepayahan, karena disamping sulitnya mencapai benteng, juga karena mereka kekurangan air minum. Pasukan Belanda ditarik mundur. Dalam pertempuran ini tentara Bali dapat menewaskan juga Opsir Belanda, 17 Opsir rendah dan serdadu dan mengalami luka-luka sebanyak 8 Opsir rendah dan serdadu.
Keesokan harinya, tanggal 16 April benteng Jagaraga diserang Belanda secara mendadak. Prajurit Bali terkejut. Dalam pertempuran yang sengit prajurit Bali tidak dapat menghalau pasukan musuh bahkan mereka terdesak dan terpaksa meninggalkan benteng-bentengnya, pagi hari itu juga benteng-benteng tersebut jatuh ke tangan musuh.    
3.      Akhir Perang
Setelah jatuhnya buleleng ke tangan Belanda banyak beberapa kerajaan yang menjadi lunak dan berdamai kepada Belanda. Namun masih ada juga kerajaan yang menunjukan sikap menentang seperti kerajaan Karangasem dan Klungkung, sedanngkan Raja Badung dan Bangli berpihak kepada Belanda. Raja Badung bersedia membantu menyeraang Klungkung. Raja Bangli menyanggupi akan menghalangi Raja Karangasem dan Raja Klungkung untuk lari ke gunung. Bukan hanya itu, terdapat juga  penghkianatan di kubu Kerajaan Karangasem, seorang patih Karangasem, Gusti Made Jungutan mempunyai hubungan gelap dengan Raja Mataram. Raja Mataram  menggabungkan pasukannya dengan pasukan Lombok untuk membantu Belanda.
Pada tanggal 9 Mei  1849 Jendral Mayor A.V Michieles dan Van Swieten beserta pasukannya mendarat di teluk Labuhan Amuk yang berdekatan dengan batas Kerajaan Klungkung. Serangan ini mendatangkan pasukan yang berjumlah 15000 orang lebih terdiri dari pasukan infanteri, kavaleri, artileri. Karena sebagian rakyat di daerah dekat pantai sudah banyak yang menyerah terhadap Belanda maka pertahanan di wilayah Kerajaan Karangasem menjadi lemah sehingga Raja pun meninggal dan Kerajaan Karangasem pun diduduki oleh Belanda.
Setelah Karangasem, Klungkung dijadikan sasaran oleh Belanda. Pasukan Bali di Kusumba yang terletak di pantai Klungkung sudah bersiap-siap untuk menahan Belanda. Namun serangan Belanda berasal dari 2 arah yaitu dari arah belakang dan arah pantai. Di pagi berikutnya perjalanan itu berlanjut, namun di malam hari pasukan Bali melancarkan serangan atas kampung itu, dan dalam serbuan itu Michiels terluka parah di pahanya dan tewas saat itu juga setelah diamputasi. Sebelumnya juga telah diberitakan bahwa Raja-raja Badung dan Tabanan sehari sebelumnya telah mengirimkan pasukan sebanyak 16.000 orang. Dengan demikian pasukan Bali tersebut pun  menyingkir.
Pada tanggal 12 Juni para utusan kerajaan berkumpul di Markas Besar Belanda untuk menemui Gubenur Jendral di Jakarta. Para utusan itu ialah :
1.    Klungkung                         : Ida Nyoman Pedada dan Ida Wayong Bagus
2.    Negara Badung      : Ida Made Rai, Pembekel Tuban dan Ida Nyoman Mas
3.    Negara Tabanan     : Made Yaksa
4.    Negara Gianjar       : Dewa Nyoman Rai dan Gusti Putu Petasan

Sumber: Djoened, Poesponegoro Marwati dan Notosusanto Nugroho. 1993. Sejarah Nasional Indonesia IV. Jakarta: Balai Pustaka.

Sabtu, 09 Juli 2011

Keanekaragaman Hayati


1. Keanekaragaman Hayati Tingkat Gen
Apa yang dimaksud dengan keanekaragaman hayati tingkat gen? Untuk menemukan jawaban ini, cobalah amati tanaman bunga mawar. Tanaman ini memiliki bunga yang berwarna-warni, dapat berwarna merah, putih atau kuning. Atau pada tanaman mangga, keanekaragaman dapat Anda temukan antara lain pada bentuk buahnya, rasa, dan warnanya.
Apa yang menyebabkan terjadinya keanekaragaman gen? Perkawinan antara dua individu makhluk hidup sejenis merupakan salah satu penyebabnya. Keturunan dari hasil perkawinan memiliki susunan perangkat gen yang berasal dari kedua induk/orang tuanya. Kombinasi susunan perangkat gen dari dua induk tersebut akan menyebabkan keanekaragaman individu dalam satu spesies berupa varietas-varietas (varitas) yang terjadi secara alami atau secara buatan.
Keanekaragaman yang terjadi secara alami adalah akibat adaptasi atau penyesuaian diri setiap individu dengan lingkungan, seperti pada rambutan. Faktor lingkungan juga turut mempengaruhi sifat yang tampak (fenotip) suatu individu di samping ditentukan oleh faktor genetiknya (genotip). Sedangkan keanekaragaman buatan dapat terjadi antara lain melalui perkawinan silang (hibridisasi), seperti pada berbagai jenis mangga.
2. Keanekaragaman Hayati Tingkat Jenis
Dapatkah Anda membedakan antara tumbuhan kelapa aren, nipah dan pinang? Atau membedakan jenis kacang-kacangan, seperti kacang tanah, kacang buncis, kacang kapri, dan kacang hijau? Atau Anda dapat membedakan kelompok hewan antara kucing,harimau, singa dan citah? Jika hal ini dapat Anda bedakan dengan benar, maka paling tidak sedikitnya anda telah mengetahui tentang keanekaragaman jenis.
3. Keanekaragaman Hayati Tingkat Ekosistem
Di lingkungan manapun Anda di muka bumi ini, maka Anda akan menemukan makhluk hidup lain selain Anda. Semua makhluk hidup berinteraksi atau berhubungan erat dengan lingkungan tempat hidupnya.
Di dalam ekosistem, seluruh makhluk hidup yang terdapat di dalamnya selalu melakukan hubungan timbal balik, baik antar makhluk hidup maupun makhluk hidup dengan lingkungnnya atau komponen abiotiknya. Hubungan timbal balik ini menimbulkan keserasian hidup di dalam suatu ekosistem. Apa yang menyebabkan terjadinya keanekaragaman tingkat ekosistem? Perbedaan letak geografis antara lain merupakan faktor yang menimbulkan berbagai bentuk ekosistem.

Kamis, 30 Juni 2011

KEN AROK


Ken Arok
            Ken Arok adalah putera Bhatara Brahma akibat perzinaan dengan Ken Ndok, istri Gajah Para di Ladang Lalateng.
            Ken Arok yang kemudian bergelar Sri Ranggah Rajasa Batara Sang Amurwabumi hanyalah sampah masyarakat belaka. Namanya melekat dengan sarangnya, Padang Karautan (sarang persembunyian Ken Arok ketika menjadi penyamun versi SH. Mintardja, penulis Bara di Atas Singgasana) yang berada tidak jauh dari istana Singasari. Ia terkenal sebagai rampok, maling, penyamun dan perbuatan tidak terpuji lainnya. Meski ia seorang penyamun, otaknya jalan dan encer, bahkan jahat. Setidaknya Ken Arok, anak putera Bhatara Brahma akibat perzinaan dengan Ken Ndok, istri Gajah Para di Ladang Lalateng ini bias menggunakan akalnya untuk menggapai sebuah kesempatan yang ia peroleh setelah Brahma Lohgawe membawanya ke istana Pakuwon Tumapel.
            Sebelum pergi ke Tumapel, Ken Arok mendatangi Bango Samparan yang tak lain bapak angkatnya. Bango Samparan memberi nasehat, agar Ken Arok sebelum pergi membunuh Tunggul Ametung di istana Tumapel, pergi dahulu ke Lulumbung menemui pandai keris Mpu Gandring kawan karib Bango Samparan. Berbekal pengalaman sebagai perampok, membunuh bukan hal luar biasa baginya. Pembunuhan pertama ia lakukan kepada pembuatk keris. Mpu Gandring yang membuatnya jengkel karena telah sekian lama keris pesanannya belum selesai juga. Dengan bengis Ken Arok membenamkan pusaka itu ke dada pembuatnya, Mpu Gandring yang kemudian menjatuhkan kutukan bahwa keris itu akan meminta banyak nyawa termasuk Ken Arok.
            Kebengisan berdarah dingin dan menghalalkan segala macam cara, ditimpakkan pula kepada Kebo Ijo (nama prajurit Singasari yang menjadi korban fitnah Ken Arok) yang kepadanya keris itu dipinjamkan sehingga kemudian banyak orang di Tumapel mengira keris yang menancap di dada Tunggul Ametung adalah milik Kebo Ijo karena sebelumnya kemana-mana Kebo Ijo selalu pamer keris itu. Tanpa banyak bicara Ken Arok membunuh Kebo Ijo sebagai tertuduh, dengan mengabarkan saksi yang terbungkam mulutnya, Ken Dedes, anak seorang Mpu Linuwih, Mpu Purwa dari Panawijen.
            Kemudian terjadilah perkawinan antara Ken Arok dan Ken Dedes yang dari awal benar-benar sudah dirancang oleh Ken Arok, bukan sekedar oleh alasan betis Ken Dedes bercahaya, Ken Arok mengawini Ken Dedes meskipun perempuan ini sedang hamil dari suaminya terdahulu. Dengan demikian ia berhasil menggapai tahapan awal dari rencana jangka panjang yang dirancangnya. Dengan mengawini Ken Dedes, Ken Arok dengan sendirinya memperoleh kedudukan sebagai akuwu di Tumapel. Di samping Ken Dedes, Ken Arok juga mengawini Ken Umang.
            Dari perkawinanya dengan Ken Dedes, Ken Arok berputra antara lain Mahesa Wong Ateleng, Panji Saprang, Agnhibaya, dan Dewi Rimbu. Sementara itu, dari perkawinannya dengan Ken Umang, Ken Arok berputra Tohjaya, Panji Shudatu, Panji Wergola, dan Dewi Rambi.
            Bahwa Ken Arok benar-benar berkeinginan menjadi raja, hal itu terlihat saat Ken Arok tidak lagi menghadap raja Kertajaya di Kediri. Hal itu menimbulkan rasa curiga pada Kertajaya. Ken Arok disangka akan memberontak. Kertajaya bersumber bahwa Kediri tidak akan dapat tundukkan oleh sipapun, kecuali oleh Bhatara Guru(Syiwa). Mendengar sesumber itu, Ken Arok memanggil para pendheta dan rakyat untuk menyaksikan bahwa ia mengambil nama Bhatara Guru dan memerintahkan tentara Tumapel bergerak menyerbu Kediri. Pertempuran sengit antara Tumapel dan Kediri berkobar disebelah utara desa Ganter. Dalam pertempuran itu, Mahisa Walungan dan Gubar Beleman, hulubalang Kediri tewas karenanya, bala tentara Kediri kocar-kacir dan raja Kertajaya lari mencari perlindungan di dalam candi (dewalaya). Kediri jatuh dalam kekuasaan Tumapel tahun 1222, Ken Arok menjadi raja pertama Singasari yang beribukota di Tumapel mulai 1222-1227, hanya dalam waktu 5 tahun.





BRONGOT SETAN KOBER (keris Mpu Gandring), membunuh:
Mpu Gandring
Tunggul Ametung
Kebo Ijo
Ken Arok
Tohjaya
Pangalasan dari Batil
Anusapati

Singasari Setelah Ken Arok
1.      Anusapati (1227-1248)
Anusapati (anak Ken Dedes dari suami pertama, akuwu Tunggul Ametung) yang tidak bias menerima kematian ayahnya atau barangkali oleh alasan yang lain, ia merebut kekuasaan. Dengan meminjam tangan pengalasan dari Batil, yang kepadanya dipinjamkan keris Mpu Gandring, Ken Arok dibunuh. Anusapati naik tahta dan memimpin negara lumayan lama, selama 21 tahun dari tahun 1227 hingga 1248 bergelar Anusanatha. 
2.      Tohjaya (1248)
Tohjaya (anak Ken Arok buah perkawinannya dengan Ken Umang) tidak bias menerima kematian ayahnya. Melalui tipu daya adu juga di sebuah pasar, Anusapati dibunuh. Anusapati dicandikan di Kidal. Tohjaya menggantikan naik tahta, menjadi raja yang ternyata tidak lebih dari setahun pada tahun 1248.
Ketika Tohjaya naik tahta, hidupnya diliputi ketakutan dan curiga terutama kepada Ranggawuni putera Anusapati dan Mahisa Cempaka puterab Mahisa Wang Ateleng. Mereka berdua datangmenghadiri penobatan Tohjaya. Melihat mereka datang, Panji Tohjaya berbisik kepada Pranaraja. Intinya, Tohjaya heran kedua keponakannya sungguh gagah perkasa. Sang Pranaraja mengungkapkan bahwa walaupun gagah perkasa, namun perlu dicurigai karena cukup membahayakan. Tohjaya marah mendengar itu, lalu menyuruh Lembu Anpal untuk membunuhnya.
Seorang Brahmana yang mendengar bisik-bisik tersebut menasehati Ranggawuni dan Mahisa Cempaka untuk bersembunyi di rumah Panji Patipati. Lembu Anpal tidak berhasil menyurnakan mereka dan harus menjalani hukuman mati. Karena takut, ia malah memihak kepada Ranggawuni dan Mahisa Cempaka. Lembu Anpal mengatakan akan setia kepada Ranggawuni dan Mahisa Cempaka. Atas hasutan Lembu Anpal, timbul perselisihan antara regu Rajasa dan Sinelir. Tohjaya berniat menyirnakan kedua belah pihak yang berselisih. Baik kepala regu Rajasa maupun kepala regu Sinelir mencari Ranggawuni untuk memohon perlindungan. Setelah diambil sumpah setra, mereka disuruh pulang. Pada waktu senja, orang-orang Sinelir dan Rajasa bersenjata lengkap berkumpul dirumah Panji Patipati. Dari situ, mereka bergerak serentak menyerbu istana. Tohjaya terkejut mendadak melihat serangan musuh dan berusaha melarikan diri. Namun, ia terkena tusukan tombak dan tidak dapat berjalan. Setelah keributan agak reda, ia dicari oleh pengikut-pengikutnya dan diungsikan ke Katang Lumbung. Sampai di Katang Lumbung ia meninggal. Pararaton mencatat wafat Tohjaya pada tahun saka 1172 (1250 A.D). Nagarakertagama sama sekali tidak menyinggung namanya, barangkali karena pada hakikatnya Panji Tohjaya tidak mempunyai sangkut paut dengan dinasti Rajasa di Majapahit.
3.      Wisnuwardhana (Ranggawuni)
Ranggawuni dan Mahisa Cempaka menyelenggarakan pemerintahan atas Singasari secara bersama-sama. Ranggawuni bergelar Sri Jayawisnuwardhana, sementara Mahisa Cempaka bergelar Ratu Angabhaya atau juga disebut Narasinghamurti. Pemerintahan kakak beradik ini lumayan lama dan tenteram mencapai 20 tahun yaitu 1248 sampai 1268. Sri Jayawisnuwardhana meninggal di Mandaragiri 1268 dan dicandikan sebagai Siwa di Jayaghu.
Dalam prasasti Malu-Malurung nama Wisnuwardhana tidak pernah disinggung, yang disebut malah Seminingrat Jagannatha, kudua-duanya dinyatakan secara jelas sebagai ayah Sri Kertanegara, dan dianggap sebagai titisan Wisnu atau Wisuwawatara (lempengan 1x8). Nama Jayannatha adalah singkatan dari Wisnu-Jagannatha dalam mitodologi India, jadi sejajar dengan Wisuwawatara. Baik baik dalam nagarakertagama maupun dalam pararaton, nama Wisnuwardhana dianggap nama Abiseka.
Menurut pararaton, setelah penyatuan kerajaan Kediri dan Singasari, Mahisa Cempaka mengambil nama Abiseka Narasingamurti dan menjadi Ratu Angabhaya (wakil raja atau pemgbantu raja). Nagarakertagama pupuh 41/2 mengibaratkan pemerintahan bersama Wisnuwardhana dan Narasinghamurti sebagai pemerintah Indra dan Madhawa. Prasati Kudaku, 1294 menguraikan bahwa Narasinamurti adalah nenek Dyah Sangrama Wijaya, pendiri kerajaan majapahit pada tahun 1293. Nama Narasinamurti tidak disinggung sama sekali dalam prasasti Mula-Malurung. Seperti telah disinggung, mungkin nama garbhopatinya ialah Narajaya. Ia dinobatkan sebagai raja di Hering. Berdasarkan pararaton, Mahisa Cempaka memang adik sepupu Ranggawuni alias Wisnuwardhana. Jadi, kemungkinan besar Narajaya adalah nama garbhopati, sedangkan Narasinga adalah nama Abiseka seperti halnya Seminingrat adalah nama garbhopati sedangkan Wisnuwardhana adalah nama Abiseka.
4.      Kertanegara dan Runtuhnya Singasari
Raja singasari berikutnya adalah Kertanegara, anak Ranggawuni yang ngelar (melebarkan kekuasaan) jajahan hingga ke Sumatera, Pahang, Bakalapura dan Gurun. Baginda Kertanegara yang memimpin negeri selama 24 tahun, yaitu sejak 1268 sampai 1292 memiliki enam orang anak, empat diantaranya dikawinkan senua dengan Raden Wijaya.
Dalam Kidung Harsawijaya pupuh1/28b sampai 30a, disebut dengan jelas bahwa Prabu Kertanegara melorot Mpu Raganata dari kedudukannya sebagai Patih Amangkubumi menjadi ramadhyaksa di Tumapel. Mpu Raganata kecewa, tidak senang kepada pemerintahan sang prabu.
Demikianlah sepeninggal Wisnuwardhana dan Bharata Narasingamurti, Prabu Kertanegara segera mengadakan perubahan besar-besaran dalam bidang administrasi untuk disesuaikan dengan pelaksanaan politik ekspansinya. Para pembesar yang telah lama mengabdi dalam pemerintahan Prabu Wisnuwardhana dan tidak dapat menyesuaikan diri dengan politik baru yang akan dijalankan oleh Prabu Kertanegara, disingkirkan dan diganti oleh tenaga-tenaga baru yang menyetujui gagasan politik sang prabu. Perubahan itu menimbulkan kegelisahan diantara para pegawai dan rakyat.
Pararaton, kidung Panji Wijayakrama, kidung Harsawijaya dan Negarakertagama pupuh 41, semuanya menyebut pengiriman tentara singasari ke negeri Melayu (swarnabumi) pada tahun saka 1187 (1275 A.D.) lima tahun setelah pecahnya pemberontakan kelana Bhayangkara atau cayaraja. Dalam Kidung Harsawijaya, dinyatakan bahwa nasihat Raganatha tentang pengiriman tentara ke Swarnabumi ditolak oleh Prabu Kertanegara. Raganatha mengingatkan sang prabu tentang kemungkinan balas dendam Raja Jayakatwang dari kediri terhadap singasari, sebab singasari dalam keadaan kosong akibat pengiriman tentara ke Swarnabumi. Prabu Kertanegara berpendapat, raja bawaan Jayakatwang tidak akan memberontak karena beliau berutang budi kepada sang prabu. Jayakatwang adalah bekas pengalasan (pegawai) keraton singasari, yang diangkat sebagai raja bawaan dikediri oleh Sri Kertanegara. Gagasan pengiriman tentara ke Swarnabumi dapat dukungan penuh dari Mahisa Anengah, pengganti Raganatha. Demikian diputuskan untuk mengirimkan tentara ke melayu. Keputusan itu dilaksanakan pada tahun 1275 A.D. Dalam sastra sejarah zaman kuno, ekspedisi ke malayu itu biasa disebut pamalayu atau perang melawan melayu.
Ekspedisi ke malayu berhasil baik. Tentara Singasari berhasil menundukan raja malayu Tribhuwanaraga Mauliwarna dewa di Dharmasraya yang di jampi dan menguasai selat malaka. Terbukti dari isi piagam Amogahapasa atau piagam Padang Arca yang dikeluarkan oleh Sri Kertanegara pada bulan Bharadapata tahun saka 1208 (Agustus-September 1286 A.D).
Pada tahun 1280 A.D timbul pemberontakan yang dipimpin oleh Mahisa Rangkah menurut pemberitaan Nagarakertagama pupuh 41/1. Pembesar-pembesar yang kena pecat terutama adipati Wirajaya gi Sumenep, mendapat kesempatan baik untuk membalas dendam dan melampiaskan kemarahanyya kepada Sri Kertanegara. Ia menghasut raja bawahan Jayakatwang dari Kediri untuk memberontak dengan cara mengirim surat.
Setelah Jayakatwang membaca surat Wiraraja, taulah beliay akan makna isyarat yang disuarakan oleh Wiraraja dan segera bertanya kepada Wirondaya, pembawa surat tentang bagaimana keadaan Singasari sebenarnya, jawabnya, semenjak raja Kertanegara memegang tampuk kepemimpinan kerajaan, segala nasihan Mpu Raganatha dan para wreddha menteri di abaikan. Para wreddha menteri digeser dari kedudukan mereka dan diganti oleh menteri muda. Sang prabu cenderung untuk meminta segala nasihat dari menteri baru. Rakyat tidak puas dengan sikap yang demikian.
Jayakatwang melalui Jaran Guyang dan patih Mundarang menyerang lewat Mameling. Utusan dari Mameling sudah sampai di istana melaporkan bahwa tentara Kediri telah sampai di Mameling, namun prabu Kertanegara tidak percaya. Baru menyaksikan sendiri para pengungsi mengalir ke kota, beliau percaya akan kebenaran laporan, namun telah terlambat. Nararya Sanggramawijaya dengan bala tentaranya yang tidak siap berperang mendadak diperintahkan berangkat ke Mamelinguntuk menanggulangi musuh. Sementara itu, prabu Kertanegara tinggal di pura, mengenyam kenikmatan hidup seolah-olah tidak ada yang mengancam, di hadap oleh Pani Argragani.
Raja Kertanegara, Panji Angragani, Mpu Raganatha, dan Wira Kreti gugur dalam perlawanan gigih melawan musuh yang mendadak datang menyerbu kota singasari. Sejarah singasari berakhir dengan mangkatnya prabu Kertanegara pada tahun 1292. Nagarakertagama pupuh43/5 mencatat bahwa Sri Kertanegara pulang ke Jinalaya pada tahun saka 1241 (1292 A.D) dan diberi gelar “yang mulia di alam Siwa-Budha”.





Raja-raja Tumapel versi Pararaton adalah:
1. Ken Arok alias Rajasa Sang Amurwabhumi (1222 - 1247)
2. Anusapati (1247 - 1249)
3. Tohjaya (1249 - 1250)
4. Ranggawuni alias Wisnuwardhana (1250 - 1272)
5. Kertanagara (1272 - 1292)
Raja-raja Tumapel versi Nagarakretagama adalah:
1. Rangga Rajasa Sang Girinathaputra (1222 - 1227)
2. Anusapati (1227 - 1248)
3. Wisnuwardhana (1248 - 1254)
4. Kertanagara (1254 - 1292)












SILSILAH RAJA-RAJA SINGASARI dan MAJAPAHIT

Tunggul Ametung       +          Ken Dedes      +          Ken Arok       +          Ken Umang




















 

Anusapati                                            Mahisa Wang Ateleng                        Tohjaya
Ranggawuni                                        Mahisa Cempaka
Kertanegara                                         Lembu Tal
Dyah Ayu Rajapatni               +          Raden Wijaya +          Selir (Dara Petak)
           
                           Tri Buana Tungga Dewi       Kala Gemet (Srijaya Negara)






 

Selir + Hayam Wuruk + Prameswari  Dewi Iswari













 

Brhe Wirabumi Kusumawardhani + Wibramawardana + Selir    Negarawardana








 

                       
Wekasingsuko     Suwita    Kertawijaya (Brawijaya I) + Anarawati (P. Campa)
                                                            Prabu Rajasa wardhana (Brawijaya II)
                                                            Prabu Hyang Purwawisesa (Brawijaya III)
                                                            Prabu Pandanalas (Brawijaya IV)
                                                            Prabu Kerthabumi (Brawijaya V)
                                                            Prabu Girindrawardhana (Brawijaya VI)
Prabu Udoro (Brawijaya VII)


Hubungan Singasari dengan Majapahit
Pararaton, Nagarakretagama, dan prasasti Kudadu mengisahkan Raden Wijaya cucu Narasingamurti yang menjadi menantu Kertanagara lolos dari maut. Berkat bantuan Aria Wiraraja (penentang politik Kertanagara), ia kemudian diampuni oleh Jayakatwang dan diberi hak mendirikan desa Majapahit.
Pada tahun 1293 datang pasukan Mongol yang dipimpin Ike Mese untuk menaklukkan Jawa. Mereka dimanfaatkan Raden Wijaya untuk mengalahkan Jayakatwang di Kediri. Setelah Kediri runtuh, Raden Wijaya dengan siasat cerdik ganti mengusir tentara Mongol keluar dari tanah Jawa.
Raden Wijaya kemudian mendirikan Kerajaan Majapahit sebagai kelanjutan Singasari, dan menyatakan dirinya sebagai anggota Wangsa Rajasa, yaitu dinasti yang didirikan oleh Ken Arok.