Kamis, 20 September 2012

DII/TII, PRRI & Permesta


PENDAHULUAN
Kalau kita menengok kembai sejarah perjalanan bangsa Indonesia, maka kita akan disapa oleh berbagai peristiwa yang amat rumit dan ruwet yang penuh dengan gejolak sosial. Betapa tidak bangsa Indonesia yang lahir melalui serangkaian revolusi yang menelan banyak korban cukup banyak baik harta maupun jiwa, terutama dalam mengusir penjajah yang pada akhirnya melahirkan Negara Kesatuan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 di Proklamasikan oleh Soekarno-Hatta yang berdasarkan Pancasila dimana didalamnya akan bernaung segala macam golongan, agama, suku dan budaya yang berbeda-beda.
Perjuangan tidak hanya sampai disitu, karena perjuangan masih tertuju pada usaha mempertahankan kemerdekaan yang pada hakekatnya lebih berat dari pada perjuanagan sebelumnya karena bukan saja berhadapan dengan musuh dari luar tetapi berhadapan dengan musuh dalam selimut seperti yang terjadi pada awal kemerdekaan. Periode ini diwarnai oleh berbagai pergolakan dan pemberontakan yang dengan sengaja ingin merongrong Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang berdasarkan Pancasila. Motif pemberontakan ini pada dasarnya adanya tendensi lain terutama yang berhubungan dengan promordial seperti kesukuan, keagamaan, atau faham lainnya yang bertentangan dengan paham Negara Pancasila.
Salah satu telaah tentang rangkaian pemberontakan ini adalah pemberontakan DI/TII, PRRI, dan Peristiwa Permesta. Pemberontakan DI/TII yang dipimpin oleh S.M. Kartosuwiryo menginginkan Indonesia yang baru saja merdeka sebagai negara teokrasi dengan agama Islam sebagai dasar negara. Hukum yang berlaku dalam Negara Islam Indonesia adalah Hukum Islam, lebih jelas hukum yang tertinggi adalah Al Quran dan Hadist. Proklamasi Negara Islam Indonesia dengan tegas menyatakan kewajiban negara untuk membuat undang-undang yang berlandaskan Syari'at Islam.
Munculnya pemberontakan PRRI diawali dari ketidakharmonisan hubungan pemerintah daerah dan pusat. Daerah kecewa terhadap pemerintah pusat yang dianggap tidak adil dalam alokasi dana pembangunan. Kekecewaan tersebut diwujudkan dengan pembentukan dewan-dewan daerah. Konflik yang terjadi ini sangat dipengaruhi oleh tuntutan keinginan akan adanya otonomi daerah yang lebih luas. Proklamasi PRRI ternyata mendapat dukungan dari Indonesia bagian Timur. Tanggal 17 Februari 1958 Makassar sebagai daerah pendukung PRRI memutuskan hubungan dengan pemerintah pusat dan mendukung PRRI. Gerakannya dikenal dengan Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta).
PEMBAHASAN
Pasca proklamasi kemerdekaan, perjuangan bangsa Indonesia belum selesai dan sangat berat. Bangsa Indonesia disatu sisi harus berjuang mempertahankan kemerdekaan dari ancaman Sekutu dan NICA. Sementara disisi lain harus menghadapi tindakan makar dari gerakan separatis. Mereka menikam dari belakang, di saat bangsa membutuhkan kekuatan untuk mempertahankan kemerdekaan. Tindakan makar itu tidak bisa dibiarkan, harus ditumpas. Berkat kesigapan TNI yang didukung rakyat, akhirnya pemberontakan dapat ditumpas.
1.                  Pemberontakan DI/TII (Darul Islam / Tentara Islam Indonesia)
Berdasarkan Perundingan Renville, kekuatan militer Republik Indonesia harus meninggalkan wilayah Jawa Barat yang dikuasai Belanda. TNI harus mengungsi ke daerah Jawa Tengah yang dikuasai Republik Indonesia, tidak semua komponen bangsa menaati isi Perjanjian Renville yang dirasakan sangat merugikan bangsa Indonesia. Salah satunya adalah S.M. Kartosuwiryo beserta para pendukungnya. Pada tanggal 7 Agustus 1949, Kartosuwiryo memproklamasikan berdirinya Negara Islam Indonesia (NII). Tentara dan pendukungnya disebut Tentara Islam Indonesia (TII). Upaya penumpasan dengan operasi militer yang disebut Operasi Bharatayuda, dengan taktis Pagar Betis.
Gerakan ini bertujuan menjadikan Republik Indonesia yang saat itu baru saja diproklamasikan kemerdekaannya dan ada pada masa perang dengan tentara Kerajaan Belanda sebagai negara teokrasi dengan agama Islam sebagai dasar negara. Dalam proklamasinya bahwa hukum yang berlaku dalam Negara Islam Indonesia adalah “Hukum Islam”, lebih jelas lagi dalam undang-undangnya dinyatakan bahwa "Negara berdasarkan Islam" dan "Hukum yang tertinggi adalah Al Quran dan Hadist". Proklamasi Negara Islam Indonesia dengan tegas menyatakan kewajiban negara untuk membuat undang-undang yang berlandaskan Syari'at Islam, dan penolakan yang keras terhadap ideologi selain Alqur'an dan Hadits Shahih, yang mereka sebut dengan "Hukum Kafir", sesuai dalam Qur'an Surat Al-Maidah, ayat 50.
Gerakan Darul Islam yang didirikan oleh Kartosuwiryo mempunyai pengaruh yang cukup luas. DI menyebar hingga di beberapa wilayah, terutama Jawa Barat (berikut dengan daerah yang berbatasan di Jawa Tengah), Sulawesi Selatan dan Aceh. Setelah Kartosoewirjo ditangkap TNI dan dieksekusi pada 1962, gerakan ini menjadi terpecah, namun tetap eksis secara diam-diam meskipun dianggap sebagai organisasi ilegal oleh pemerintah Indonesia.
2.                  Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI)
Munculnya pemberontakan PRRI diawali dari ketidakharmonisan hubungan pemerintah daerah dan pusat. Daerah kecewa terhadap pemerintah pusat yang dianggap tidak adil dalam alokasi dana pembangunan. Kekecewaan tersebut diwujudkan dengan pembentukan dewan-dewan daerah seperti berikut:
a.       Dewan Banteng di Sumatra Barat yang dipimpin oleh Letkol Ahmad Husein.
b.      Dewan Gajah di Sumatra Utara yang dipimpin oleh Kolonel Maludin Simbolan.
c.       Dewan Garuda di Sumatra Selatan yang dipimpin oleh Letkol Barlian.
d.      Dewan Manguni di Sulawesi Utara yang dipimpin oleh Kolonel Ventje Sumual.
PRRI merupakan salah satu gerakan pertentangan antara pemerintah daerah dengan pemerintah pusat (Jakarta) yang dideklarasikan pada tanggal 15 Februari 1958 dengan keluarnya ultimatum dari “Dewan Perjuangan” yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Ahmad Husein di Padang, Sumatera Barat.
Tanggal 10 Februari 1958 Ahmad Husein menuntut agar Kabinet Djuanda mengundurkan diri dalam waktu 5 x 24 jam, dan menyerahkan mandatnya kepada presiden. Tuntutan tersebut jelas ditolak pemerintah pusat. Setelah menerima ultimatum, maka pemerintah bertindak tegas dengan memecat secara tidak hormat Ahmad Hussein, Simbolon, Zulkifli Lubis, dan Dahlan Djambek yang memimpin gerakan sparatis. Hal tersebut yang melatarbelakangi dideklarasikannya PRRI (Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia) atas ketidakpuasan pemerintah daerah pada Kabinet Djuanda yang saat itu memerintah.
Pengaruh dari peristiwa ini juga menyebabkan timbulnya eksodus besar-besaran suku Minangkabau ke daerah lain serta kemudian menimbulkan efek psikologis yang besar pada sebagian besar masyarakat Minangkabau masa tersebut, yaitu melekatnya stigma pemberontak, padahal kawasan Minangkabau sejak zaman Belanda termasuk kawasan yang gigih menentang kolonialis serta kawasan Indonesia yang setia dan banyak melahirkan pemimpin-pemimpin nasionalis masa pra kemerdekaan. Selain beberapa tindakan kekerasan yang dialami oleh masyarakat juga menguncang harga diri, harkat dan martabat yang begitu terhina dan dihinggapi mentalitas orang kalah serta trauma atas kekalahan PRRI. Sampai hari ini para pelaku peristiwa PRRI tetap menolak dianggap sebagai pemberontak atas tindakan yang mereka lakukan.
3.                  Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta)
Permesta adalah sebuah gerakan militer di Indonesia. Gerakan ini dideklarasikan oleh pemimpin sipil dan militer Indonesia Timur pada 2 Maret 1957 yaitu oleh Letkol Ventje Sumual. Pusat pemberontakan ini berada di Makassar yang pada waktu itu merupakan ibu kota Sulawesi. Proklamasi PRRI ternyata mendapat dukungan dari Indonesia bagian Timur. Tanggal 17 Februari 1958 Kolonel D. J. Somba selaku pimpinan Kodam Sulawesi Utara dan Tengah memutuskan hubungan dengan pemerintah pusat dan mendukung PRRI. Gerakannya dikenal dengan Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta).
Awalnya masyarakat Makassar mendukung gerakan ini. Perlahan-lahan, masyarakat Makassar mulai memusuhi pihak Permesta. Setahun setelah deklarasi Permesta, pada 1958 markas besar Permesta dipindahkan ke Manado. Timbul kontak senjata disini dengan pasukan pemerintah pusat sampai mencapai gencatan senjata. Gerakan ini jelas melawan pemerintah pusat dan menentang tentara sehingga harus ditumpas. Pemerintah pusat Republik Indonesia yang dideklarasikan di Jakarta pada 17 Agustus 1945 kemudian menggunakan operasi-operasi militer untuk menghentikan gerakan-gerakan pemberontakan yang mengarah kepada kemerdekaan.
Pada tahun 1960 pihak Permesta menyatakan kesediaanya untuk berunding dengan Pemerintah Pusat. Perundingan pun dilangsungkan. Permesta diwakili oleh Panglima Besar Angkatan Perang Permesta, Mayor Jenderal Alex Evert Kawilarang serta pemerintah pusat diwakili oleh Kepala Staf Angkatan Darat Letnan Jenderal A.H. Nasution. Perundingan tersebut tercapai sebuah kesepakatan bahwa pasukan Permesta akan membantu pihak TNI untuk bersama-sama menghadapi pihak Komunis di Jawa. Pada tahun 1961 Pemerintah Pusat melalui Keppres 322/1961 memberi Amnesti dan Abolisi bagi siapa saja yang terlibat PRRI dan Permesta, tapi bukan untuk itu saja bagi anggota DI/TII baik di Jawa Barat, Aceh, Jawa Tengah, Kalimantan Selatan dan Sulawesi Selatan Juga berhak menerimanya. Sesudah keluar keputusan itu, banyak anggota Permesta yang keluar dari hutan-hutan untuk mendapatkan Amnesti dan Abolisi. Seperti Kolonel D.J. Somba, Mayor Jenderal A.E. Kawilarang, Kolonel Dolf Runturambi, Kolonel Petit Muharto Kartodirdjo, dan Kolonel Ventje Sumual beserta pasukannya menjadi kelompok paling akhir yang keluar dari hutan untuk mendapatkan Amnesti dan Abolisi dan pada tahun itu pula permesta dinyatakan bubar.
KESIMPULAN
Berdasarkan uraian-uraian di atas, maka dapat disimpulakan beberapa hal sebagai berikut:
1.      Latar belakang munculnya gerakan DI/TII (NII) di beberapa daerah seperti Jawa Barat, Jawa Tengah, Aceh dan Sulawesi Selatan adalah adanya keriguan atau penentangan Perundingan Renville yang mengharuskan kekuatan militer Republik Indonesia meninggalkan wilayah Jawa Barat yang dikuasai Belanda, salah satunya S.M. Kartosuwiryo pendiri DI/TII (Darul Islam / Tentara Islam Indonesia) yang mempunyai tujuan menjadikan Indonesia (NKRI) sebagai negara teokrasi dengan agama Islam sebagai dasar negara.
2.      PRRI merupakan salah satu gerakan pertentangan antara pemerintah daerah dengan pemerintah pusat (Jakarta), daerah kecewa terhadap pemerintah pusat yang dianggap tidak adil dalam alokasi dana pembangunan. Pengaruh dari peristiwa ini menyebabkan timbulnya eksodus besar-besaran suku Minangkabau ke daerah lain serta kemudian menimbulkan efek psikologis. Sampai hari ini para pelaku peristiwa PRRI tetap menolak dianggap sebagai pemberontak atas tindakan yang mereka lakukan.
3.      PRRI ternyata mendapat dukungan dari Indonesia bagian Timur, dikenal dengan Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta). Gerakan ini dideklarasikan oleh pemimpin sipil dan militer Indonesia Timur pada 2 Maret 1957 yaitu oleh Letkol Ventje Sumual. Pusat pemberontakan ini berada di Makassar yang pada waktu itu merupakan ibu kota Sulawesi.

DAFTAR PUSTAKA
http://www.sejarahkita.comoj.com/jenny12.html
Syamdani, (2009). PRRI, pemberontakan atau bukan. Media Pressindo. ISBN 978-979-788-032-3.