PENDAHULUAN
Kalau kita menengok kembai sejarah
perjalanan bangsa Indonesia, maka kita akan disapa oleh berbagai peristiwa yang
amat rumit dan ruwet yang penuh dengan gejolak sosial. Betapa tidak bangsa
Indonesia yang lahir melalui serangkaian revolusi yang menelan banyak korban
cukup banyak baik harta maupun jiwa, terutama dalam mengusir penjajah yang pada
akhirnya melahirkan Negara Kesatuan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus
1945 di Proklamasikan oleh Soekarno-Hatta yang berdasarkan Pancasila dimana
didalamnya akan bernaung segala macam golongan, agama, suku dan budaya yang
berbeda-beda.
Perjuangan tidak hanya sampai
disitu, karena perjuangan masih tertuju pada usaha mempertahankan kemerdekaan
yang pada hakekatnya lebih berat dari pada perjuanagan sebelumnya karena bukan
saja berhadapan dengan musuh dari luar tetapi berhadapan dengan musuh dalam
selimut seperti yang terjadi pada awal kemerdekaan. Periode ini diwarnai oleh
berbagai pergolakan dan pemberontakan yang dengan sengaja ingin merongrong
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang berdasarkan Pancasila. Motif
pemberontakan ini pada dasarnya adanya tendensi lain terutama yang berhubungan
dengan promordial seperti kesukuan, keagamaan, atau faham lainnya yang
bertentangan dengan paham Negara Pancasila.
Salah satu telaah tentang rangkaian
pemberontakan ini adalah pemberontakan DI/TII, PRRI, dan Peristiwa Permesta.
Pemberontakan DI/TII yang dipimpin oleh S.M. Kartosuwiryo menginginkan
Indonesia yang baru saja merdeka sebagai negara teokrasi dengan agama Islam sebagai dasar negara. Hukum yang berlaku dalam Negara Islam
Indonesia adalah Hukum Islam, lebih jelas hukum yang tertinggi adalah Al Quran dan Hadist. Proklamasi Negara Islam Indonesia
dengan tegas menyatakan kewajiban negara untuk membuat undang-undang yang
berlandaskan Syari'at
Islam.
Munculnya pemberontakan PRRI diawali
dari ketidakharmonisan hubungan pemerintah daerah dan pusat. Daerah kecewa
terhadap pemerintah pusat yang dianggap tidak adil dalam alokasi dana
pembangunan. Kekecewaan tersebut diwujudkan dengan pembentukan dewan-dewan
daerah. Konflik yang terjadi ini sangat dipengaruhi oleh tuntutan keinginan
akan adanya otonomi daerah yang lebih luas. Proklamasi PRRI
ternyata mendapat dukungan dari Indonesia bagian Timur. Tanggal 17 Februari
1958 Makassar sebagai daerah pendukung PRRI memutuskan hubungan dengan
pemerintah pusat dan mendukung PRRI. Gerakannya dikenal dengan Perjuangan
Rakyat Semesta (Permesta).
PEMBAHASAN
Pasca proklamasi kemerdekaan,
perjuangan bangsa Indonesia belum selesai dan sangat berat. Bangsa Indonesia disatu
sisi harus berjuang mempertahankan kemerdekaan dari ancaman Sekutu dan NICA.
Sementara disisi lain harus menghadapi tindakan makar dari gerakan separatis.
Mereka menikam dari belakang, di saat bangsa membutuhkan kekuatan untuk
mempertahankan kemerdekaan. Tindakan makar itu tidak bisa dibiarkan, harus
ditumpas. Berkat kesigapan TNI yang didukung rakyat, akhirnya pemberontakan
dapat ditumpas.
1.
Pemberontakan
DI/TII (Darul Islam / Tentara Islam Indonesia)
Berdasarkan Perundingan Renville,
kekuatan militer Republik Indonesia harus meninggalkan wilayah Jawa Barat yang
dikuasai Belanda. TNI harus mengungsi ke daerah Jawa Tengah yang dikuasai
Republik Indonesia, tidak semua komponen bangsa menaati isi Perjanjian Renville
yang dirasakan sangat merugikan bangsa Indonesia. Salah satunya adalah S.M.
Kartosuwiryo beserta para pendukungnya. Pada tanggal 7 Agustus 1949,
Kartosuwiryo memproklamasikan berdirinya Negara Islam Indonesia (NII). Tentara
dan pendukungnya disebut Tentara Islam Indonesia (TII). Upaya penumpasan dengan
operasi militer yang disebut Operasi Bharatayuda, dengan taktis Pagar Betis.
Gerakan ini bertujuan menjadikan Republik Indonesia yang saat itu baru saja diproklamasikan
kemerdekaannya
dan ada pada masa perang dengan
tentara Kerajaan Belanda
sebagai negara teokrasi dengan agama Islam sebagai dasar negara. Dalam proklamasinya bahwa hukum yang
berlaku dalam Negara Islam Indonesia adalah “Hukum Islam”, lebih jelas lagi
dalam undang-undangnya dinyatakan bahwa "Negara berdasarkan Islam"
dan "Hukum yang tertinggi adalah Al Quran dan Hadist". Proklamasi Negara Islam
Indonesia dengan tegas menyatakan kewajiban negara untuk membuat undang-undang
yang berlandaskan Syari'at
Islam, dan
penolakan yang keras terhadap ideologi selain Alqur'an dan Hadits Shahih, yang
mereka sebut dengan "Hukum Kafir", sesuai dalam Qur'an Surat Al-Maidah,
ayat 50.
Gerakan Darul Islam yang didirikan
oleh Kartosuwiryo mempunyai pengaruh yang cukup luas. DI menyebar hingga di
beberapa wilayah, terutama Jawa Barat (berikut dengan daerah yang berbatasan di
Jawa Tengah), Sulawesi Selatan dan Aceh. Setelah Kartosoewirjo ditangkap TNI dan dieksekusi pada 1962, gerakan ini menjadi terpecah,
namun tetap eksis secara diam-diam meskipun dianggap sebagai organisasi ilegal
oleh pemerintah Indonesia.
2.
Pemerintahan
Revolusioner Republik Indonesia (PRRI)
Munculnya pemberontakan PRRI diawali
dari ketidakharmonisan hubungan pemerintah daerah dan pusat. Daerah kecewa
terhadap pemerintah pusat yang dianggap tidak adil dalam alokasi dana
pembangunan. Kekecewaan tersebut diwujudkan dengan pembentukan dewan-dewan
daerah seperti berikut:
a. Dewan Banteng di Sumatra Barat yang
dipimpin oleh Letkol Ahmad Husein.
b. Dewan Gajah di Sumatra Utara yang
dipimpin oleh Kolonel Maludin Simbolan.
c. Dewan Garuda di Sumatra Selatan yang
dipimpin oleh Letkol Barlian.
d. Dewan Manguni di Sulawesi Utara yang
dipimpin oleh Kolonel Ventje Sumual.
PRRI merupakan salah satu gerakan
pertentangan antara pemerintah daerah dengan pemerintah pusat (Jakarta) yang dideklarasikan pada tanggal 15 Februari 1958 dengan keluarnya ultimatum dari “Dewan Perjuangan” yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Ahmad Husein di Padang, Sumatera Barat.
Tanggal
10 Februari 1958 Ahmad Husein menuntut agar Kabinet Djuanda mengundurkan diri
dalam waktu 5 x 24 jam, dan menyerahkan mandatnya kepada presiden. Tuntutan
tersebut jelas ditolak pemerintah pusat. Setelah menerima ultimatum, maka
pemerintah bertindak tegas dengan memecat secara tidak hormat Ahmad Hussein,
Simbolon, Zulkifli Lubis, dan Dahlan Djambek yang memimpin gerakan sparatis.
Hal tersebut yang melatarbelakangi dideklarasikannya PRRI (Pemerintah
Revolusioner Republik Indonesia) atas ketidakpuasan pemerintah daerah pada Kabinet
Djuanda yang saat itu memerintah.
Pengaruh
dari peristiwa ini juga menyebabkan timbulnya eksodus besar-besaran suku Minangkabau ke daerah lain serta kemudian menimbulkan efek psikologis yang besar pada sebagian besar masyarakat Minangkabau masa
tersebut, yaitu melekatnya stigma pemberontak,
padahal kawasan Minangkabau sejak zaman Belanda termasuk kawasan yang gigih menentang kolonialis serta
kawasan Indonesia yang setia dan banyak melahirkan pemimpin-pemimpin nasionalis
masa pra kemerdekaan. Selain beberapa tindakan kekerasan yang dialami oleh
masyarakat juga menguncang harga diri, harkat dan martabat yang begitu terhina
dan dihinggapi mentalitas orang kalah serta trauma atas kekalahan PRRI. Sampai
hari ini para pelaku peristiwa PRRI tetap menolak dianggap sebagai pemberontak
atas tindakan yang mereka lakukan.
3.
Perjuangan
Rakyat Semesta (Permesta)
Permesta adalah sebuah gerakan militer di Indonesia. Gerakan ini dideklarasikan oleh pemimpin sipil dan militer
Indonesia Timur pada 2 Maret 1957 yaitu oleh Letkol Ventje Sumual. Pusat pemberontakan ini berada di Makassar yang pada waktu itu merupakan ibu kota Sulawesi. Proklamasi PRRI ternyata mendapat dukungan dari Indonesia
bagian Timur. Tanggal 17 Februari 1958 Kolonel D.
J. Somba selaku
pimpinan Kodam Sulawesi Utara dan Tengah memutuskan hubungan dengan pemerintah
pusat dan mendukung PRRI. Gerakannya dikenal dengan Perjuangan Rakyat Semesta
(Permesta).
Awalnya masyarakat Makassar mendukung gerakan ini. Perlahan-lahan, masyarakat Makassar mulai memusuhi pihak Permesta. Setahun setelah deklarasi
Permesta, pada 1958 markas besar Permesta dipindahkan ke Manado. Timbul kontak senjata disini dengan pasukan pemerintah
pusat sampai mencapai gencatan senjata. Gerakan ini jelas melawan pemerintah pusat dan menentang
tentara sehingga harus ditumpas. Pemerintah pusat Republik Indonesia yang dideklarasikan di Jakarta pada 17 Agustus 1945 kemudian menggunakan operasi-operasi militer untuk
menghentikan gerakan-gerakan pemberontakan yang mengarah kepada kemerdekaan.
Pada tahun 1960 pihak Permesta menyatakan
kesediaanya untuk berunding dengan Pemerintah Pusat. Perundingan pun
dilangsungkan. Permesta diwakili oleh Panglima Besar Angkatan Perang Permesta,
Mayor Jenderal Alex Evert Kawilarang serta pemerintah pusat diwakili oleh
Kepala Staf Angkatan Darat Letnan Jenderal A.H. Nasution. Perundingan tersebut
tercapai sebuah kesepakatan bahwa pasukan Permesta akan membantu pihak TNI untuk
bersama-sama menghadapi pihak Komunis di Jawa. Pada tahun 1961 Pemerintah Pusat
melalui Keppres 322/1961 memberi Amnesti dan Abolisi bagi siapa saja yang
terlibat PRRI dan Permesta, tapi bukan untuk itu saja bagi anggota DI/TII baik
di Jawa Barat, Aceh, Jawa Tengah, Kalimantan Selatan dan Sulawesi Selatan Juga
berhak menerimanya. Sesudah keluar keputusan itu, banyak anggota Permesta yang
keluar dari hutan-hutan untuk mendapatkan Amnesti dan Abolisi. Seperti Kolonel
D.J. Somba, Mayor Jenderal A.E. Kawilarang, Kolonel Dolf Runturambi, Kolonel
Petit Muharto Kartodirdjo, dan Kolonel Ventje Sumual beserta pasukannya menjadi
kelompok paling akhir yang keluar dari hutan untuk mendapatkan Amnesti dan
Abolisi dan pada tahun itu pula permesta dinyatakan bubar.
KESIMPULAN
Berdasarkan uraian-uraian di atas,
maka dapat disimpulakan beberapa hal sebagai berikut:
1. Latar belakang munculnya gerakan
DI/TII (NII) di beberapa daerah seperti Jawa Barat, Jawa Tengah, Aceh dan
Sulawesi Selatan adalah adanya keriguan atau penentangan Perundingan Renville
yang mengharuskan kekuatan militer Republik Indonesia meninggalkan wilayah Jawa
Barat yang dikuasai Belanda, salah satunya S.M. Kartosuwiryo pendiri DI/TII
(Darul Islam / Tentara Islam Indonesia) yang mempunyai tujuan menjadikan Indonesia
(NKRI) sebagai negara teokrasi dengan agama Islam sebagai dasar negara.
2. PRRI merupakan salah satu gerakan pertentangan antara pemerintah
daerah dengan pemerintah pusat (Jakarta), daerah kecewa terhadap pemerintah pusat yang dianggap
tidak adil dalam alokasi dana pembangunan. Pengaruh dari peristiwa ini
menyebabkan timbulnya eksodus besar-besaran suku Minangkabau ke daerah lain serta kemudian menimbulkan efek psikologis. Sampai hari ini para pelaku peristiwa PRRI tetap menolak
dianggap sebagai pemberontak atas tindakan yang mereka lakukan.
3. PRRI ternyata mendapat dukungan dari
Indonesia bagian Timur, dikenal dengan Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta). Gerakan
ini dideklarasikan oleh pemimpin sipil dan militer Indonesia Timur pada 2 Maret 1957 yaitu oleh Letkol Ventje Sumual. Pusat pemberontakan ini berada di Makassar yang pada waktu itu merupakan ibu kota Sulawesi.
DAFTAR
PUSTAKA
http://www.sejarahkita.comoj.com/jenny12.html