Selasa, 11 Juni 2013

Historiografi Modern Van Leur dan Sartono Kartodirjo


PENDAHULUAN
Penulisan sejarah merupakan representasi kesadaran penulis sejarah dalam masanya. Penulisan sejarah (historiografi) ini merupakan fase atau langkah akhir dari beberapa fase yang biasanya harus dilakukan oleh peneliti sejarah. Penulisan sejarah (historiografi) merupakan cara penulisan, pemaparan, atau pelaporan hasil penelitian sejarah yang telah dilakukan. Awal perkembangan penulisan sejarah di Indonesia dimulai dengan adanya penulisan sejarah dalam bentuk naskah seperti : babad, hikayat, kronik, tambo, dan lain-lain yang termasuk dalam kategori historiografi tradisional. Kemudian pada periode selanjutnya berkembang historiografi modern yang sudah lebih dahulu berkembang di Barat dengan ciri utama yang sangat mementingkan fakta.
Penulisan sejarah yang moderen di Indonesia diawali dengan penulisan sejarah penjajahan Belanda. Penulisan sejarah ini dilakukan oleh para ahli sejarah yang merupakan suatu team. Team penulis sejarah ini dipimpin oleh Dr. FW. Stapel. Buku yang ditulis oleh team ini berjudul Geschedenis van Nederlandsch Indie (Sejarah Hindia Belanda). Buku tersebut pada dasarnya tidak banyak menceritakan tentang peran bangsa Indonesia, namun justru penjajah Belanda yang menjadi subjek atau pemeran utama dalam cerita sejarah. Aspek-aspek yang positif lebih banyak ditekankan pada orang Belanda, sedangkan bangsa Indonesia hanyalah sebagai pelengkap. Dimana tokoh-tokoh penting dari orang Belanda dianggap sebagai orang besar, sedangkan tokoh-tokoh bangsa Indonesia yang oleh bangsa Indonesia dianggap sebagai pahlawan, dianggap sebagai orang yang jelek, orang jahat, dan berbagai citra negatif lainnya.
Penulisan sejarah yang seperti tersebut diatas selanjutnya menimbulkan kritikan yang dianggap perlu sebagai bentuk nasionalisme dalam historiografi dengan penulisan sejarah yang dilihat dari kaca mata bangsa Indonesia. Menempatkan bangsa Indonesia sebagai tokoh sentral, pemeran utama bukan malah sebagai figur yang negatif. Adapun sejarah yang bersifat indonesiasentris harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut.
  1. Sejarah yang mengungkapkan “sejarah dari dalam”. yang menempatkan bangsa Indonesia sebagai pemeran utama.
  2. Penjelasan sejarah Indonesia diuraikan secara luas, dengan uraian yang mencakup aspek politik, ekonomi, sosial, dan budaya.
  3. Erat berhubungan dengan kedua pokok di atas, perlu ada pengungkapan aktivitas dari pelbagai golongan masyarakat, tidak hanya para bangsawan atau ksatria, tetapi juga dari kaum ulama atau petani serta golongangolongan lainnya.
  4. Untuk menyusun sejarah Indonesia sebagai suatu sintesis, yang menggambarkan proses perkembangan ke arah kesatuan geo-politik seperti yang kita hadapi dewasa ini, maka prinsip integrasi perlu dipergunakan untuk mengukur seberapa jauh integrasi itu dalam masa-masa tertentu telah tercapai.
Beberapa pelopor dalam penulisan historiografi Indonesia modern diantaranya adalah J.C van Leur dan Sartono Kartodirdjo. Jika awalnya tokoh Belanda sebagai pahlawan sementara orang pribumi sebagai penjahat, maka tokoh-tokoh inilah dengan adanya Indonesianisasi maka kedudukannya terbalik dimana orang Indonesia sebagai pahlawan dan orang Belanda sebagai penjahat tetapi alur ceritanya tetap sama dengan penulisan sejarah yang mengungkapkan kehidupan bangsa dan rakyat Indonesia dalam segala aktivitasnya, baik politik, ekonomi, sosial, maupun budaya dari sudut pandang bangsa Indonesia.

Kepeloporan J.C. Van Leur dalam Historiografi Indonesia Modern
J.C. Van Leur adalah penulis Eropa pada masa kolonial yang tinggal di Indonesia dan menulis sejarah Indonesia. Tulisan-tulisan yang dihasilkannya pun ikut mewarnai perkembangan historiogrfi Indonesia, terutama menghadirkan model baru tulisan sejarah (Indonesia). Pemikiran Van Leur juga banyak dipengaruhi oleh sosiolog Jerman, Max Weber, sehingga karya-karyanya cenderung menggunakan pendekatan sosiologis. Hal menarik yang ingin disampaikan Van Leur dalam tulisannya ini (Abad Ke-18 Sebagai Kategori Dalam Penulisan Sejarah Indonesia) bahwa penulisan sejarah Indonesia harus berdasarkan perspektif bangsa Indonesia dengan menggunakan sumber-sumber tradisional (hikayat, babad, puisi, cerita rakyat, legenda dan mitos-mitos). Selain itu, J.C Van Leur menekankan adanya penelitian lapangan dalam penulisan sejarah. Keberadaan ataupun peranan penduduk pribumi juga harus dihadirkan dalam menuliskan sejarah Indonesia, tidak hanya sekedar objek penulisan.
Periode yang menjadi objek kajian utama sejarawan kolonial adalah periode kolonial, dimulai sejak kedatangan bangsa Eropa ke Indonesia. Ada beberapa ciri-ciri dari historiografi kolonial Belanda, yakni. Pertama, umumnya karya yang dihasilkan oleh sejarawan kolonial ditulis di negeri Belanda dan penulisnya tidak pernah berkunjung ke Indonesia atau dalam istilah Van Leur, sejarah yang ditulis dari atas geladak kapal atau gudang-gudang loji. Kalaupun ditulis di Indonesia, data-datanya hanya berdasarkan informasi dari pejabat-pejabat pribumi dan pejabat kolonial. Kedua, lebih menonjolkan peran orang-orang Belanda di Indonesia. Kebanyakan membahas pemerintahan kolonial dan pejabat-pejabatnya, terutama aktivitas pemerintah kolonial dalam bidang politik, ekonomi, dan institusional. Ketiga, Menggunakan perspektif eropasentris, aktivitas penduduk pribumi tidak mendapat perhatian. Dengan kata lain, bangsa pribumi hanya diletakan sebagai objek. Keempat, penggunaan sumber-sumber pribumi seperti syair, hikayat dan babad cenderung diabaikan. Sumber-sumber pribumi dianggap memiliki kualitas rendah dan tidak rasional (http://clio1673.blogspot.com/2013/01/jc-van-leur-abad-ke-18-sebagai-kategori.html, diunduh pada Minggu 26 Mei 2013).
Menurut Van Leur karya-karya pada abad 18 banyak menjelaskan tentang perdagangan, peperangan, kerajaan, dan kota-kota yang ada di dengan tanpa melihat kondisi bangsa Indonesia secara langsung. Ilmuwan ini memandang negara-negara Timur dari perspektif Barat. Hal inilah yang coba dibantahnya, bahwa ternyata apa yang digambarkan dalam karya-karya pada masa Kolonial tidak sesuai dengan kenyataan saat itu. Misalnya, karya Dr. Godee Molsbergen yang mengemukakan bahwa sejarah VOC dalam abad kedelapan belas merupakan refleksi dari sejarah Belanda yang ketika itu muncul sebagai suatu kekuatan yang menentukan Eropa. J.C Van Leur menyanggah pendapat ini dengan mengatakan bahwa abad kedelapan belas tidak berbeda dengan abad ketujuh belas dimana VOC bukan kekuatan yang menentukan perkembangan sejarah di Asia, tetapi kekuatan Asia yang terletak pada kerajaan-kerajaannya. Selain itu, VOC harus mengikuti pola-pola perdagangan tradisional yang berlaku di daerah koloninya.
Kekuatan VOC justru terletak pada kemampuannya memanfaatkan situasi politik pada kerajaan-kerajaan lokal. Biasanya VOC berperan sebagai juru damai atau memihak pada salah satu pihak dalam konflik antar kerajaan atau dalam sebuah kerajaan. Atas bantuannya tersebut, VOC biasanya diberikan hadiah berupa hak penguasaan atas wilayah tertentu. Jadi, kekuatan armada VOC pada abad 18 sebenarnya tidak jauh berbeda dengan kekuatan kerajaan-kerajaan lokal, bahkan terkadang justru kerajaan lokal memiliki pasukan yang jauh lebih kuat daripada armada VOC itu sendiri. Olehnya itu, Van Leur menyatakan bahwa sejarah Hindia Belanda (Indonesia) tidak boleh disamakan dengan sejarah Kompeni (Kolonial) abad ke-17. Meskipun demikian, Van Leur memuji karya Raffles “History of Java” yang berhasil menjelaskan kebudayaan Jawa dengan baik dan tak ada taranya.
Penulisan sejarah Indonesia menjadi menarik dengan kehadiran karya Van Leur dengan mengemukakan sebuah perspektif baru dalam menulis sejarah Indonesia, perspektif orang Indonesia atau dalam sebutan beliau, menghadirkan orang Indonesia dalam penulisan sejarahnya. Perspektif inilah yang menjadi dasar kehadiran historiografi Indonesiasentris. Konstribusi penting Van Leur membuka wacana baru dalam penulisan sejarah, karena yang terpenting dalam historiografi yakni menghadirkan data-data baru yang bersifat lokal. Hal ini dimaksudkan sebagai upaya menulis sejarah yang lebih berimbang lagi dan benar-benar komprehensif. Inilah pelajaran penting dari karya Van Leur ini, yakni meletakkan arah baru (perspektif) penulisan sejarah Indonesia. Artinya tulisan yang tidak hanya berdasarkan pandangan kaum kolonial saja, tetapi menghadirkan pandangan orang Indonesia atas sejarahnya sendiri dengan menjadikan sumber-sumber lokal (historiografi tradisional) sebagai sumber sejarah dalam penulisan sejarah.

Kepeloporan Sartono Kartodirdjo dalam Historiografi Indonesia Modern
Prof Dr A Sartono Kartodirdjo, Guru Besar Ilmu Sejarah Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta. Ia merupakan penulis buku Pengantar Sejarah Indonesia Baru, kelahiran Wonogiri, Jawa Tengah, 15 Februari 1921. Sebagai seorang penulis sejarah, ia memperkenalkan pendekatan multidimensi dalam penulisan sejarah. (Sumber: http://www.tokohindonesia.com/biografi/article/285-ensiklopedi/2284-mahaguru-sejarah-indonesia, diunduh pada Minggu 26 Mei 2013). Sebelum menjadi guru, pria yang akrab disapa Sartono ini menyelesaikan pendidikan di HIS, MULO, dan HIK. Saat bersekolah di HIK (sekolah calon bruder).
Saat usianya menginjak 44 tahun, Sartono menyelesaikan pendidikan sarjana di Fakultas Sastra Universitas Indonesia di sela-sela kegiatan mengajar di salah satu sekolah yang ada di Jakarta. Lalu melanjutkan pendidikan master degree di Universitas Yale, Amerika Serikat setelah sebelumnya mengajar di Universitas Gajah Mada Jogjakarta dan IKIP Bandung. Ia lulus pada tahun 1964 disusul melanjutkan pendidikan doktoralnya dua tahun kemudian.
Sebagai sejarawan dan ilmuan sosial-humaniora yang terkemuka, Sarton Kartodirjo dapat disejajarkan dengan tokoh-tokoh ilmuan Indonesianis internasional lainnya, seperti J.D. Legge, Herbert Feith, G. McT. Kahin, H.J. Benda dan W.F. Wertheim (keduanya adalah gurunya) serta B. R. O’G. Anderson dan M.C. Ricklefs. Karya dan sumbangannya telah banyak memberikan sumbangan besar dalam perkembangan ilmu pengetahuan di Indonesia (Nursam, 2008 : ix). Sartono Kartodirjo merupakan tokoh pembeharu dalam peletak dasar bagi perkembangan kaian sejarah kritis atau modern.
Sartono menganjurkan dalam rangka penyusunan historiografi modern, agar digunakan corak Indonesiasentrisme, yang lebih menekankan penempatan peran bangsa Indonesia sebagai pelaku utama dalam perjalanan sejarahnya. Hal ini perlu diterapkan untuk menggantikan corak Eropanesentrisme yang telah menguasai dengan kecenderungan penempatan peran orang Eropa sebagai pelaku utama dalam sejarah Indonesia.
Dalam pengantar buku Membuka Pintu bagi Masa Depan : Biografi Sartono Kartodirjo (Kompas; 2008), menegaskan pemikiran lain dari Sartono Kartodirjo adalah peningnya penggunaan pendekatan interdisipliner, multidisipliner atau pendekatan ilmu-ilmu sosial dalam kajian sejarah. Pendekatan ini terutama ditunjukkan dalam kajian tentang sejarah ssosial di Indonesia, terutama dalam kajian pemberontakan kaum petani terhadap kaum penguasa pada masa kolonial dan gerakan-gerakan protes sosial dari kelompok masyarakat kecil yang terpinggirkan. Kedua hal tersebut tercakup dalam karyanya yang berjudul The Peasant’s Revolt of Banten in 1888, Its Conditions, Course and Sequel : A Case Study of Social Movements in Indonesia (‘s-Gravenhage: Martinus Nijhoff, 1966), dan Protest Movements in Rural Java: A Study of Agrariant Unrest in the Nineteenth and Early of Twentieth Centuries (Singapore, etc: Oxford University Press, 1973).
Dalam disertasi (The Peasants’ Revolt of Banten in 1888, It’s Conditions, Course and Sequel: A Case Study of Sosial Movements in Indonesia) yang ia buat untuk meraih gelar doktoralnya dinilai banyak orang sebagai jembatan perkembangan ilmu sejarah di Indonesia. Ia menganggap bahwa disertasinya merupakan bentuk protes terhadap penulisan sejarah Indonesia yang konvensional dan Neerlandosenteris. Sartono Kartodirjo mencoba mengubah pandangan dengan keberanian dari gerakan sosial yang dilakukan oleh petani untuk melawan ketidakadilan. Tidak hanya itu, Sartono juga mencoba menghilangkan virus inferior pada bangsa asing yang saat itu banyak menjangkiti masyarakat Indonesia.
Namun, dalam buku Membaca Postkolonialitas (di) Indonesia (2008:42) mengungkapkan bahwa memang benar study Sartono tentang pemberontakan petani Banten sebenarnya mengalihkan sejarah Indonesia dari kajian yang hanya membahas tentang penguasa kolonial atau kerajaan menjadi pembahasan tentang masyarakat kebanyakan. Selian itu, ia juga mulai beralih dari fiologi ke arah penulisan dengan pendekatan ilmu-ilmu sosial, dengan pendekatan multimensional yang menjadi ciri penting perkembangan historiografi selanjutnya.
Penggunaan pendekatan interdisipliner, multidisipliner atau pendekatan ilmu-ilmu sosial dalam kajian sejarah dimaksudkan bahwa bahwa ilmu sejarah bukanlah sekedar narasi , tidak hanya menggunakan ilmu sejarah saja, tetapi harus memanfaatkan bantuan ilmu antropologi, sosiologi, berikut disiplin ilmu-ilmu lain. Selain itu, karena menulis sejarah Indonesia, maka cara pendekatannya memang harus Indonesiasentris dan jangan sampai terpesona dengan aneka ragam kisah raja-raja atau orang besar. Sebab rakyat, petani, dan wong cilik juga punya peran sangat bermakna yang juga ikut membentuk sejarah.
Karya – Karya Sartono Kartodirdjo
  • Indonesia Historiography, 2001
  • Modern Indonesia, Tradition and Transformation, 1984
  • Ratu Adil, 1984
  • Protest Movement in Rural Java, Oxford University, 1973
  • The Peasant Revolt of Banten in 1888, 1966
  • Pengantar Sejarah Indonesia Baru, Jilid I Zaman Kerajaan dan Jilid II Pergerakan Sejarah Nasional
  • Pemberontakan Petani Banten 1888: Kondisi, Jalan Peristiwa dan Kelanjutannya - Sebuah Studi Kasus mengenai Gerakan Sosial di Indonesia, 1984
  • Pemikiran dan Perkembangan Historiografi Indonesia: Suatu Alternatif, 1982
  • Sejarah Nasional Indonesia, 1976
  • Arit dan Bulan Sabit: Pemberontakan Komunis 1926 di Banten, 1982
  • Sejarah Perkebunan di Indonesia: Kajian Sosial Ekonomi
  • Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah, 1993
  • Ungkapan-ungkapan Filsafat Sejarah Barat dan Timur, 1986
  • Revolusi Prancis, 1989
  • Kebudayaan Pembangunan dalam Perspektif Sejarah: Kumpulan Karangan, 1987
  • Masyarakat Kuno dan Kelompok-kelompok Sosial, 1977
  • Dari Raja Ali Haji Hingga Hamka: Indonesia dan Masa Lalunya, 1983
  • Kepemimpinan dalam Dimensi Sosial, 1984
  • Elite dalam Perspektif Sejarah, 1981
  • Sejak Indische sampai Indonesia 
  • Komunikasi dan Kaderisasi dalam Pembangunan Desa
  • Modern Indonesia, Tradition & Transformation: A Socio-historical Perspective
  • Perkembangan Peradaban Priyayi
  • Pembangunan Bangsa tentang Nasionalisme, Kesadaran dan Kebudayaan Nasional
  • Multidimensi Pembangunan Bangsa: Etos Nasionalisme dan Negara Kesatuan
  • Ideologi dan Teknologi dalam Pembangunan Bangsa: Eksplorasi Dimensi Historis dan Sosio-kultural : Kumpulan Tulisan
  • Peristiwa Cimareme Tahun 1919: Perlawanan H. Hasan terhadap Peraturan Pembelian Padi



PENUTUP
J.C. Van Leur dan Sartono Kartodirdjo merupakan tokoh penting dalam perkembangan ilmu pengetahuan di Indonesia khususnya dalam penulisan sejarah. Keduanya adalah peletak dasar dari adanya pandangan Indonesiasentris dalam penulisan historiografi modern dengan meletakkan orang-orang Indonesia sebagai pelaku utama dari sejarah Indonesia. Apa yang dilakukan mereka berdua adalah dengan mengubah adanya pandangan religio-magis serta kosmologis diganti dengan pandangan empiris-ilmiah, adanya pandangan etnosentrisme diganti dengan pandangan nationsentris dan adanya pandangan sejarah kolonial-elitis diganti dengan sejarah bangsa Indonesia secara keseluruhan yang mencakup berbagai lapisan sosial. Sehingga melalui karya-karyanya mereka mampu mengungkapkan dinamika masyarakat Indonesia dari berbagai aspek kehidupan yang kemudian dapat dijadikan bahan kajian untuk memperkaya penulisan sejarah Indonesia.









Referensi

Kuntowijoyo. 2003. Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Nursam, M. 2008. Membuka Pintu bagi Masa Depan: Biografi Sartono Kartodirjo. Jakarta: Kompas.
Susanto, Budi. 2008. Membaca Postkolonialitas (di) Indonesia. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

Antropologi Perkotaan


Kota adalah pusat kehidupan yang dapat dilihat dari berbagai macam sudut pandang pendekatan. Aspek tersebut memberikan gambaran bahwa kota menjadi tempat manusia atau masyarakat berperilaku mengisi aktifitas kehidupannya sehari-hari. Dengan berperilaku manusia dapat dilihat melalui teropong sosiologi maupun antropologinya, atau dapat juga dilihat dari aspek fisik perkotaan yang akan memberikan kontribusi pada perilaku sosio-antropologinya (manusia dan struktur sosialnya).
Antropologi Perkotaan
Antropologi perkotaan berasal dari dua istilah atau dua konsep, yaitu antropologi dan perkotaan. Makna dari istilah atau konsep antropologi perkotaan adalah pendekatan-pendekatan antropologi mengenai masalah-masalah perkotaan. Yang dimaksud dengan pendekatan-pendekatan antropologi adalah pendekatan-pendekatan yang baku yang menjadi ciri-ciri dari metodologi yang ada dalam antropologi, dan yang dimaksudkan dengan pengertian masalah-masalah perkotaan adalah masalah-masalah yang muncul dan berkembang dalam kehidupan kota dan yang menjadi ciri-ciri dari hakekat kota itu sendiri yang berbeda dari ciri-ciri kehidupan desa.
Kota dengan demikian diperlakukan sebagai konteks atau variabel yang menjelaskan keberadaan permasalahan yang ada di dalam kehidupan perkotaan, dan kota adalah juga sebagai permasalahan perkotaan itu sendiri.
Perbandingan Kota dengan Desa
Dalam peradaban modern, dominasi kota telah diidentifikasikan dengan dua fenomena. Pertama, kontak desa dan kota telah menjadi lebih erat dan lebih banyak bila dibandingkan dengan sebelumnya. Kedua, penduduk kota semakin besar bila dibandingkan dengan desa.
Karena persoalan yang lebih kompleks dan sulit, membuat orang kota lebih unggul daripada orang desa secara kualitas maupun kuantitas. Yang dimaksud kualitas adalah kemampuan untuk mengantisipasi kebutuhan dan kepentingan masyarakat guna meningkatkan taraf dan mutu hidup anggotanya. Sementara yang dimaksud dengan kuantitas adalah jumlah dan aneka ragam lembaga pranata, dan sarana lain yang tersedia untuk memenuhi kebutuhan dan kepentingan anggotanya.
Masyarakat Perkotaan
Kota menurut definisi universal adalah sebuah area urban yang berbeda dari desa ataupun kampong berdasarkan ukuranya, kepadatan penduduk, kepentingan atau status hukum.
Beberapa definisi (secara etimologis) “kota dalam bahasa lain yang agak tepat dengan pengertian ini, seperti dalam bahasa Cina, kota artinya dinding dan dalam bahasa Belanda kuno, tuiin, bisa berarti pagar. Jadi dengan demikian kota adalah batas. Selanjutnya masyarakat perkotaan sering disebut juga urban community. Pengertian masyarakat kota lebih ditekankan pada sifat-sifat kehidupanya serta cirri-ciri kehidupanya yang berbeda dengan masyarakat pedesaan.
Ada beberapa ciri yang menonjol pada masyarakat kota, yaitu:
1.             Kehidupan keagamaan berkurang bila dibandingkan dengan kehidupan keagamaan di desa.
2.             Orang kota pada umumnya dapat mengurus dirinya sendiri tanpa harus bergantung pada orang lain.
3.             Pembagian kerja diantara warga-warga kota juga lebih tegas dan mempunyai batas-batas yang nyata.
4.             Kemungkinan-kemungkinan untuk mendapatkan pekerjaan juga lebih banyak diperoleh warga kota daripada warga desa.
5.             Jalan pikiran rasional yang pada umumnya dianut masyarakat perkotaan, menyebabkan bahwa interaksi-interaksi yang terjadi lebih didasarkan pada faktor kepentingan daripada faktor pribadi.
6.             Perubahan-perubahan sosial tampak dengan nyata di kota-kota, sebab masyarakat kota biasanya lebih terbuka dalam menerima hal-hal baru.
Kondisi-kondisi yang diperlukan bagi suatu kota (city) ada enam :
a)             pembagian kerja dalam spesialisasi yang jelas
b)             organisasi sosial leboh berdasarkan pekerjaan dan kelas sosialdari pada kekeluargaan
c)             lembaga pemerintahan lebih berdasarkan teritorium dari pada kekeluargaan
d)            suatu sistem perdagangan dan pertukangan
e)             mempunyai sarana komunikasi dan dokumentasi
f)              berteknologi yang rasional
Makin besar pertambahan penduduk, makin menjadi jelas corak kekotaan suatu tempat. Dalam rangka urbanisasi, ini tampaknya dipedesaan yang letaknya mengelilingi kota-kota. Disitu kepadatan penduduk mendorong manusia mencari nafkah dari bidang non-agraris seperti perdagangan, industri, dan perkantoran.
Ikatan sosial berdasarkan tradisi menjadi lemah, luntur atau menghilang. Dengan demikian perubahan-perubahan tersebut mengubah ikatan antar manusia, begitu pula bentuk-bentuk kehidupan dan pertanyaan serta sikap rohaninya.
Secara umum dapat dikenal bahwa suatu lingkungan perkotaan seharusnya mengandung lima unsur yang meliputi:
·                Wisma
·                Karya
·                Marga
·                Suku
·                Penyempurnaan
Masyarakat Kota Sebagai Community
Adalah suatu kelompok teritorial di mana penduduknya menyelenggarakan kegiatan-kegiatan hidup sepenuhnya. Dengan demikian, suatu community memiliki ciri-ciri: 1. berisi kelompok manusia, 2. menempati suatu wilayah geografis, 3. mengenal pembagian kerja ke dalam spesialisasi dengan fungsi-fungsi yang saling tergantung, 4. memiliki kebudayaan dan sistem sosial bersama yang mengatur kegiatan mereka, 5. para anggotanya sadar akan kesatuan serta kewargaan mereka dari community, dan 6. mampu berbuat secara kolektif menurut cara tertentu. Hal ini dapat diperjelas lagi bahwa community dapat dibagi menurut jenisnya menjadi empat jenis community: Rural, Fringe (pinggiran), Town, dan Metropolis.
Peradaban Kota
Secara lebih khusus, ”peradaban” dapat juga dirimuskan sebagai tingkat kemampuan seseorang atau masyarakat untuk menciptakan atau merumuskan ketentuan-ketentuan bagi pengaturan tata kehidupannya dalam hubungannya dengan lingkungan sosial maupun lingkungan alam, serta tingkat kemampuan seseorang atau masyarakat itu untuk mematuhi dan menaati ketentuan-ketentuan itu. Maka komunitas kota dapat dikatakan memiliki peradaban yang lebih tinggi, bukan kebudayaan. Komunitas kota lebih berorientasi kepada hal-hal yang bersifat material dan rasional sehingga hubungan menjadi impersonal dan sekunder, bukan lagi “relation oriented”. Individu menjadi teratomisasi dan teranomisasi sehingga masing-masing harus mencari jalannya sendiri-sendiri untuk tetap hidup.
Karena banyaknya dan bervariasinya tuntutan dalam bertingkah laku dan bertindak sebagai anggota masyarakat yang berorientasi pada (goal) dan pencapaian (achievement) maka gaya hidup masyarakat kota lebih diarahkan pada penampilan fisik dan kualitas fisik sehingga tampak civilized. Gejala lain dalam komunitas kota adalah adanya kecenderungan masyarakat menjadi masyarakat massa (mass society) dimana individu kehilangan identitas pribadinya.
Tapi, di balik apa yang dikemukakan di atas, terdapat pandangan yang melihat kota sebagai mempunyai peranan yang penting di dalam kehidupan masyarakat umum dan bangsa. Karena kota merupakan pusat kekuasaan, ekonomi, pengetahuan, inovasi, dan peradaban maka kehidupan kota dapat membawa dan mengarahkan kehidupan masyarakat umum kepada peningkatan kualitas hidup manusia. Keadaan ini sebanding dengan arti “sivilitas” yang berarti kualitas tertinggi pada masyarakat manusia.
Sekularisasi mencapai puncaknya dalam masyarakat modern, yang mempengaruhi hampir semua bidang perilaku, dan meluas ke kalangan penduduk. Pendekatan kehidupan kota sebagai jaringan sistem yang utuh memang diperlukan untuk memperoleh pengertian yang jelas dan mendalam mengenai kondisi dan proses kemajuan dan atau kemunduran kehidupan dan peradaban kota.
Kota dan Kelompok Kerabat
Sejalan dengan berkembangnya kota, terutama dalam hal jumlah penduduknya, maupun tuntutan sejumlah kebutuhan (ekonomi, politik, dan sosial budaya lainnya ) maka organisasi-organisasi keluarga juga cenderung berkembang meluas menjadi organisasi regional, yang tentunya mempunyai fungsi-fungsi yang harus dipenuhi, kalau tidak mau tenggelam dalam situasi anomik, individualisme, dan lain-lainnya yang bersifat disintegratif. Dengan kata lain alasan-alasan fundamental pembentukan asosiasi regional ialah karena asosiasi ini dapat berfungsi secara efektif sebagai suatu mekanisme adaptif dalam kota-kota yang besar. Asosiasi-asosiasi regional lebih bertujuan untuk memodernisasi dan menempatkan kesejahteraan umum para anggotanya. Di dalamnya terdapat suatu perasaan persaudaraan tanpa memandang pada kekayaan, pendidikan, ataupun jabatan. Sehingga keadaan itu akan meratakan jalan bagi terbentuknya status “urban” yang dibedakan dari status “rural”, dan menimbulkan kesadaran klas, bukannya kesadaran kesukuan.
Kota dan Kemiskinan
Salah satu masalah yang mendapat sorotan dari para antropolog adalah masalah kemiskinan yang dialami oleh golongan tertentu dalam kota-kota besar. Budaya kemiskinan (culture of poverty) merupakan interpretasi kemiskinan sebagai gaya hidup yang bersifat integral, di mana terjadi bentuk-bentuk tertentu dari penyesuaian dan partisipasi terhadap dunia yang ada di sekelilingnya.
Munculnya budaya khusus tentang kemiskinan yang menentukan sepenuhnya hubungan antara individu dan kepribadian kaum miskin. Lalu apa penyebab kemiskin itu, kemudian di paparkan sebagai berikut: - kemiskinan yang bersifat cultural, - kemiskinan dan budaya dua-duanya terletak dalam lingkaran setan, dan - orang miskin dapat disosialisasikan pula di dalam budaya kemiskinan itu yang mewujudkan budaya yang dominan baginya.
Kemudian ada lima jenis kebijakan dalam memecahkan masalah kawasan kumuh di perkotaan: a) Sikap laisser fair, pemerintah membiarkan dibangunan perumahan liar mengikuti permainan ekonomi, b) Alamist approach, pendekatan yang memandang bermunculannya gubug-gubug reyot kaum papa sebagai ancaman; c) Pendekatan sesisi (partial approoach), pemerintah memberikan subsidi kepada perushaan swasta yang mendidrikan perumahan bagi penduduk yang mampu membayar secara kredit, d) Total approach, pendekatan menyeluruh, pemerintah mendirikan secara besar-besaran perumahan untuk kaum ekonomi lemah, dan e) Pendekatan progresif (progresisive approach), pemecahan bersama penghuninya.
Urbanisasi
PJM. Nas (1979:42), berbendapat bahwa urbanisasi adalah proses yang digerakkan oleh perubahan-perubahan struktural dalam masyarakat, sehingga daerah-daerah yang dulu merupakan daerah pedesaan dengan struktur mata pencaharian yang agraris maupun sifat kehidupan masyarakat lambat laun atau melalui proses yang mendadak memperoleh sifat kehidupan kota. Urbanisasi yang berarti “gejala perluasan pengaruh kota ke pedesaan, baik dilihat dari sudut morfologi, ekonomi, sosial, maupun sosial-psikologis”.
Penelitian urbanisasi itu dapat dirinci ke dalam pengertian-pengertian berikut :
a. Arus perpindahan penduduk dari desa ke kota.
b. Bertambah besarnya jumlah tenaga kerja non agraris di sektor industri dan sektor tersier.
c. Tumbuhnya pemukiman menjadi kota.
d. Meluasnya pengaruh kota di daerah-daerah pedesaan dalam segi ekonomi, sosial, budaya dan psikologi.
Tetapi pada umumnya orang mengartikan urbanisasi itu hanya sebagai mengalirnya perpindahan penduduk dari pedesaan ke kota-kota, dan dipandang sebagai penyebab utama terjadinya berbagai masalah sosial. Migrasi ke kota terjadi karena adanya perbedaan kemajuan antara kota dan desa. Kehidupan kota yang jauh lebih enak, banyak kesempatan kerja yang bisa diperoleh di kota, mengundang penduduk desa untuk datang ke kota.
Sikap Manusia Terhadap Kota
Dalam menilai kota terdapat polarisasi antara dua faham. Golongan kolot, yakni para lokalis yang lebih berpangkal pada emosi, pengamatan pribadi, dan nostalgi. Mereka berpendapat bahwa yang ada tak usah dirubah, demi nilai sejarahnya. Golongan cosmopolitans, menghendaki perubahan drastis, yakni supaya wajah kota dirubah, sehingga lebih nampak corak modern dan internasional. Bagi localis ini berarti perlindungan terhadap yang ada. Sedangkan bagi cosmopolitans, itu berarti pemugaran yang disertai pertimbangan penggunaan ruang secara efektif dan kreatif.
Dalam filsafat mengenai kota dibicarakan pula faham mereka yang disebut “pembenci kota” dan “pencinta kota”. Para pembenci kota terdiri atas mereka yang putus asa dalam menghadapi kebobrokan kehidupan dalam kota. Kota mereka pandang sebagai sumber gejala kekerasan, pemabukan, penyakit jiwa, kejahatan, frustrasi, perceraian, dan sebagainya.
Kota dan Proses Pengasingan
Dalam masyarakat modern di kota-kota besar sering terjadi apa yag disebut proses keterasingan (alienation). Proses terjadi karena orang tidak mempunyai perasaan ikut memiliki fasilitas, lembaga, dan kesempatan. Sehingga karena itu orang-orang terasing tersebut merasa tidak menjadi bagian dari masyarakat kota. Perasaan keterasingan menyebabkan hilangnya rasa tanggungjawab bahkan ketidak perdulian. Tidak adanya tanggungjawab dan kepedulian tersebut menimbulkan sikap non-partsipasif.
Itulah sebabnya kota-kota besar itu cenderung kotor. Sebab warganya tidak merasa ikut memilikidan karena itu tidak merasa berkewajiban untuk memlihara berbagai faslitas fisik yang telah disediakan oleh pemerintah. Gejala kekotoran berkorelasi dengan kepadatan penduduk dan kemiskinan.
Seluk Beluk Kota Semarang
Beberapa hal yang patut diketahui mengenai gaya hidup masyarakat kota Semarang:
Makanan
Di Jogja terkenal dengan angkringan sedangkan di Semarang terkenal dengan kucingan. Kucingan atau nasi kucing adalah tempat makan yang menyediakan makanan berupa nasi bungkus, lauk-pauk (sate, ayam,tempe dsb), Biaya makanan disini murah, karena jika nongkrong di kucingan, maka satu bungkus nasi kucing hanya berkisar 1500 hingga 2 ribu perak. Menunya pun beragam, mulai dari nasi ayam, nasi tempe, nasi remes dan banyak lagi. Kucingan menjadi alternatif tempat nongkrong tersendiri bagi muda-mudi di kota Semarang. Masyarakat Semarang rela berlama-lama di kucingan hanya untuk menikmati minuman dan makanan bersama teman-teman mereka.
Selain itu, tempat-tempat makan dikota juga begitu murah. Coba bandingkan dengan harga yang ada di Jakarta atau Kalimantan bahkan kota lainnya. Bisa ditebak, perbandingan 3x lipat. Ya inilah kota Semarang yang terkenal dengan keramahtamahan masyarakatnya.
Lifestyle (fashion)
Mungkin bila orang dari Jakarta atau kota lain akan terheran-heran dengan penampilan orang Semarang. Sebagai masyarakat yang terkenal keramahtamahannya ini (sangat halus) penampilan mereka pun begitu apa adanya.
Ketika di pusat keramaian, mungkin penduduk keturunan china yang begitu kelihatan menonjolkan fashionnya. Tetapi jika bertemu dengan orang asli Semarang, mereka akan terlihat santun dengan style mereka, rapi, apa adanya dan pastinya tidak norak.
Urbanisasi Kota Semarang
Kota Semarang saat ini telah mengalami deindustrialisasi. Akibat dari dampak urbanisasi berlebih, dimana tingkat urbanisasi tidak diimbangi tingkat industrialisasi. Bahkan, kepadatan penduduk kota Semarang juga telah menyebabkan daya dukung lingkungan dan daya tampung sosial menjadi rendah. Hal itu dikemukan Dosen Teknik Sipil Universitas Negeri Semarang, Ir. Saratri Wilonoyudho, M.Si., dalam ujian terbuka promosi doktor bidang prodi Ilmu Kependudukan Sekolah Pascasarjana UGM yang berlangsung di ruang auditorium Fakultas Geografi, Sabtu (19/11).
Saratri menegaskan kota Semarang terjadi kecenderungan urbaniasasi dengan pola menyebar yang ditandai pertumbuhan penduduk perkotaan yang tinggi di kabupaten-kabupaten di sekitar kota Semarang. Selain, berdampak pada kerusakan lingkungan, kemacetan lalu lintas dan tingginya angka kejahatan, peran sektor industri dan pertanian di Kota Semarang cenderung menurun, sebaliknya sektor informal justru semakin meningkat. “Urbanisasi di kota Semarang justru memunculkan gejala involusi kota yakni terus meningkatnya jumlah pekerja di sektor informal dengan produtivitas rendah, sebagaimana ditunjukkan pada PDRB (produk domestik regional bruto) sektor industri di kota Semarang yang relatif kecil dibandingkan PDRB di sektor jasa atau perdagangan,” katanya.
Dia menyebutkan, arus migrasi masuk ke kota Semarang dilihat dari kelompok umur 25-29 sampai 35-39 baik laki-laki maupun perempuan telah terjadi kenaikan yang cukup tajam. Tahun 1997, kelompok umur 25-29 jumlah penduduk laki-laki sekitar 56.409 dan penduduk perempuan 57.827, sepuluh tahun kemudian atau tahun 2007, jumlahnya melonjak tajam, yakni masing-masing 78.093 untuk laki-laki dan 77.228 untuk perempuan. Sebagian besar bekerja disektor informal atau jasa sebesar 81,9%. Dan hanya 18,09 % yang bekerja di sektor industri.
Akibat dari dampak urbanisasi berlebihan tersebut, katanya, pemerintah kota Semarang kelebihan beban anggaran karena harus membiayai infrastruktur dan pelayanan sosial ekonomi dengan biaya tinggi yang tidak sebanding dengan produktivitas sebagian besar warganya yang bekerja di sektor informal. Namun demikian, imbuhnya, kota Semarang masih memiliki peluang untuk menata ulang perencanaan kota karena kota belum overpopulated seperti Jakarta karena ruang terbuka di kota ini masih cukup luas. “Kebijakan untuk mengurangi arus migrasi harus dilakukan secara silmultan baik antara kebijakan pembangunan di tingkat nasional dan regional, maupun antara pedesaan dan perkotaan,” katanya.
Menurutnya, kebijakan pembangunan pusat -pusat industri yang padat modal ditinjau kembali, industri kecil dan menengah yang berbasis pertanian perlu dikembangkan agar para petani dan buruh tani turut menikmati hasilnya. Tuntutan ini dikedepankan karena hasil penelitian ini menunjukkan bahwa buruh tani, petani dan pekerja tidak terampil sangat kecil penghasilannya. Strategi pemanfaatan kota sebaiknya diarahkan untuk lebih memperjelas hirarkhi kota dengan menghindari dominasi kota Semarang terhadap daerah di belakangnya tersebar dan diharapkan dapat lebih menyebarkan hasil-hasil pembangunan.
Kesimpulan
Permasalahan perkotaan yang menjadi sasaran kajian antropologi perkotaan berpangkal pada kebudayaan perkotaan dan pranata-pranata sosial yang hidup dan berkembang di kota. Dari kajian utama mengenai kebudayaan dan pranata-pranata sosial tersebut, kehidupan sehari-hari, pola-pola kelakuan, kehidupan komuniti, ekonomi, hubungan antar sukubangsa atau antar etnik, kemunculan dan mantapnya golongan-golongan sosial, hierarki dan stratifikasi sosial, kemiskinan, kekumuhan, permasalahan permukiman, rumah, hunian serta berbagai masalah lain itu dilihat keberadaannya, hakekatnya, dan kecenderungan-kecenderungannya sebagai mengacu pada kondisi-kondisi kota yang merupakan lingkungan hidup perkotaan.
Kajian antropologi perkotaan bukanlah kajian yang hanya memperlakukan kota sebagai latar, atau lokasi dilakukannya penelitian, atau sebuah situs tempat kajian masalah yang diteliti yang terwujud sebagai kajian sosial-mikro itu dilakukan, atau kajian tempat hidupnya komuniti miskin. Kajian-kajian yang tercakup dalam antropologi perkotaan harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1.              Kajian atau penelitian yang dilakukan harus dapat mendefinisikan kota atau kota-kota yang tercakup dalam kajiannya sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari sasaran konseptual dari penelitiannya.
2.              Kajian atau penelitian yang memfokuskan pada melihat penelitian silang budaya harus tidak terpaku pada model urbanisme yang telah terjadi di kota-kota di dunia Barat, tetapi betul-betul harus dapat menggali dan menemukan pola-pola yang berlaku secara empirik dalam kehidupan kota-kota yang ditelitinya.
Harus menggunakan pendekatan yang holistik mengenai kota dan berbagai kaitan hubungan kota tersebut dengan pola-pola kelakuan dan pola-pola budaya dengan masyarakat yang lebih luas.
Sumber:
Asmarie. 2010. Gaya Hidup Orang Semarang. Tersedia di [http://asmarie.blogdetik.com/2010/12/14/gaya-hidup-orang-semarang/]. Diunduh pada 01 April 2013.
Daldjoeni, N. 1978. Seluk Beluk Masyarakat Kota. Bandung: Penerbit Alumni.
Hans, Dieter Evers. 1986. Sosiologi Perkotaan Urbanisasi dan Sengketa Tanah di Indonesia dan Malaysia. Jakarta: LP3ES.

Humas UGM. Urbanisasi Berlebih, Kota Semarang Mengalami Deindustrialisasi. Tersedia di [http://pslh.ugm.ac.id/id/index.php/archives/1581]. Diunduh pada 01 April 2013.

Menno, S. dan Mustamin Alwi. Antropologi Perkotaan. Diposkan oleh Agung Wibowo. Tersedia di [http://narasibumi.blog.uns.ac.id/2009/04/14/antropologi-perkotaan/]. Diunduh pada 26 Maret 2013.
Nas, d. P. J. M. 1979. Kota di Dunia Ketiga: Pengantar Sosiologi Kota. Jilid 1. Jakarta: Bhratara Karya Aksara.
Rahardjo, M. Dawam. 1999. Masyarakat madani: agama, kelas menengah, dan perubahan sosial. Jakarta: LP3ES.
Suparlan, Parsudi. 2010. Antropologi Perkotaan. Diposkan oleh Dwi Surti Junida. Tersedia di [http://dwiloveislam-dwie.blogspot.com/2010/10/antropologi-perkotaan.html]. Diunduh pada 25 Maret 2013.