PENDAHULUAN
Penulisan
sejarah merupakan representasi kesadaran penulis sejarah dalam masanya. Penulisan sejarah (historiografi) ini merupakan fase atau langkah akhir dari beberapa fase yang biasanya harus dilakukan
oleh peneliti sejarah. Penulisan sejarah (historiografi) merupakan cara
penulisan, pemaparan, atau pelaporan hasil penelitian sejarah yang telah
dilakukan. Awal perkembangan penulisan
sejarah di Indonesia dimulai dengan adanya penulisan sejarah dalam bentuk
naskah seperti : babad, hikayat, kronik, tambo, dan lain-lain yang termasuk dalam kategori historiografi tradisional. Kemudian
pada periode selanjutnya berkembang historiografi
modern yang sudah lebih dahulu berkembang di Barat dengan ciri utama yang sangat
mementingkan fakta.
Penulisan sejarah yang moderen
di Indonesia
diawali dengan penulisan sejarah penjajahan
Belanda. Penulisan sejarah ini dilakukan oleh para ahli sejarah yang merupakan suatu
team. Team penulis sejarah ini dipimpin oleh Dr. FW. Stapel. Buku yang
ditulis oleh team ini berjudul Geschedenis van Nederlandsch Indie (Sejarah
Hindia Belanda). Buku
tersebut pada dasarnya tidak banyak menceritakan tentang peran bangsa Indonesia, namun
justru penjajah Belanda yang menjadi subjek atau pemeran utama dalam cerita sejarah. Aspek-aspek yang positif
lebih banyak ditekankan pada orang Belanda, sedangkan bangsa Indonesia hanyalah
sebagai pelengkap. Dimana tokoh-tokoh
penting dari orang Belanda dianggap sebagai orang besar, sedangkan tokoh-tokoh
bangsa Indonesia yang oleh bangsa Indonesia dianggap sebagai pahlawan, dianggap
sebagai orang yang jelek, orang jahat, dan berbagai citra negatif lainnya.
Penulisan sejarah yang seperti tersebut diatas
selanjutnya menimbulkan kritikan yang dianggap perlu sebagai bentuk nasionalisme dalam historiografi dengan penulisan sejarah yang dilihat dari kaca mata bangsa Indonesia. Menempatkan bangsa Indonesia sebagai tokoh
sentral, pemeran utama bukan malah sebagai
figur yang negatif. Adapun sejarah yang
bersifat indonesiasentris harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut.
- Sejarah yang mengungkapkan “sejarah dari dalam”. yang menempatkan bangsa Indonesia sebagai pemeran utama.
- Penjelasan sejarah Indonesia diuraikan secara luas, dengan uraian yang mencakup aspek politik, ekonomi, sosial, dan budaya.
- Erat berhubungan dengan kedua pokok di atas, perlu ada pengungkapan aktivitas dari pelbagai golongan masyarakat, tidak hanya para bangsawan atau ksatria, tetapi juga dari kaum ulama atau petani serta golongangolongan lainnya.
- Untuk menyusun sejarah Indonesia sebagai suatu sintesis, yang menggambarkan proses perkembangan ke arah kesatuan geo-politik seperti yang kita hadapi dewasa ini, maka prinsip integrasi perlu dipergunakan untuk mengukur seberapa jauh integrasi itu dalam masa-masa tertentu telah tercapai.
Beberapa pelopor dalam penulisan historiografi
Indonesia modern diantaranya adalah J.C van Leur dan Sartono Kartodirdjo. Jika awalnya tokoh Belanda sebagai pahlawan sementara orang pribumi sebagai
penjahat, maka tokoh-tokoh inilah dengan adanya Indonesianisasi maka kedudukannya terbalik dimana orang
Indonesia sebagai pahlawan dan orang Belanda sebagai penjahat tetapi alur ceritanya
tetap sama dengan penulisan sejarah yang mengungkapkan kehidupan bangsa dan
rakyat Indonesia dalam segala aktivitasnya, baik politik, ekonomi, sosial,
maupun budaya dari sudut pandang bangsa Indonesia.
Kepeloporan J.C. Van Leur dalam Historiografi
Indonesia Modern
J.C. Van Leur adalah penulis Eropa pada masa kolonial
yang tinggal di Indonesia dan menulis sejarah Indonesia. Tulisan-tulisan yang dihasilkannya pun ikut mewarnai perkembangan
historiogrfi Indonesia, terutama menghadirkan model baru tulisan sejarah
(Indonesia). Pemikiran Van Leur juga banyak dipengaruhi oleh sosiolog Jerman,
Max Weber, sehingga karya-karyanya cenderung menggunakan pendekatan sosiologis.
Hal menarik yang ingin disampaikan Van Leur dalam tulisannya ini (Abad Ke-18
Sebagai Kategori Dalam Penulisan Sejarah Indonesia) bahwa penulisan sejarah
Indonesia harus berdasarkan perspektif bangsa Indonesia dengan menggunakan
sumber-sumber tradisional (hikayat, babad, puisi, cerita rakyat, legenda dan
mitos-mitos). Selain itu, J.C Van Leur menekankan adanya penelitian lapangan
dalam penulisan sejarah. Keberadaan ataupun peranan penduduk pribumi juga harus
dihadirkan dalam menuliskan sejarah Indonesia, tidak hanya sekedar objek
penulisan.
Periode yang
menjadi objek kajian utama sejarawan kolonial adalah periode kolonial, dimulai
sejak kedatangan bangsa Eropa ke Indonesia. Ada beberapa ciri-ciri dari
historiografi kolonial Belanda, yakni. Pertama, umumnya karya yang
dihasilkan oleh sejarawan kolonial ditulis di negeri Belanda dan penulisnya
tidak pernah berkunjung ke Indonesia atau dalam istilah Van Leur, sejarah yang
ditulis dari atas geladak kapal atau gudang-gudang loji. Kalaupun ditulis di
Indonesia, data-datanya hanya berdasarkan informasi dari pejabat-pejabat
pribumi dan pejabat kolonial. Kedua, lebih menonjolkan peran orang-orang
Belanda di Indonesia. Kebanyakan membahas pemerintahan kolonial dan
pejabat-pejabatnya, terutama aktivitas pemerintah kolonial dalam bidang
politik, ekonomi, dan institusional. Ketiga, Menggunakan perspektif eropasentris,
aktivitas penduduk pribumi tidak mendapat perhatian. Dengan kata lain,
bangsa pribumi hanya diletakan sebagai objek. Keempat, penggunaan
sumber-sumber pribumi seperti syair, hikayat dan babad
cenderung diabaikan. Sumber-sumber pribumi dianggap memiliki kualitas rendah
dan tidak rasional (http://clio1673.blogspot.com/2013/01/jc-van-leur-abad-ke-18-sebagai-kategori.html, diunduh
pada Minggu
26 Mei 2013).
Menurut Van Leur karya-karya pada abad 18 banyak
menjelaskan tentang perdagangan, peperangan, kerajaan, dan kota-kota yang ada
di dengan tanpa melihat kondisi bangsa Indonesia secara langsung. Ilmuwan ini
memandang negara-negara Timur dari perspektif Barat. Hal inilah yang coba
dibantahnya, bahwa ternyata apa yang digambarkan dalam karya-karya pada masa
Kolonial tidak sesuai dengan kenyataan saat itu. Misalnya, karya Dr. Godee
Molsbergen yang mengemukakan bahwa sejarah VOC dalam abad kedelapan belas
merupakan refleksi dari sejarah Belanda yang ketika itu muncul sebagai suatu
kekuatan yang menentukan Eropa. J.C Van Leur menyanggah pendapat ini dengan
mengatakan bahwa abad kedelapan belas tidak berbeda dengan abad ketujuh belas
dimana VOC bukan kekuatan yang menentukan perkembangan sejarah di Asia, tetapi
kekuatan Asia yang terletak pada kerajaan-kerajaannya. Selain itu, VOC harus
mengikuti pola-pola perdagangan tradisional yang berlaku di daerah koloninya.
Kekuatan VOC justru terletak pada kemampuannya
memanfaatkan situasi politik pada kerajaan-kerajaan lokal. Biasanya VOC
berperan sebagai juru damai atau memihak pada salah satu pihak dalam konflik
antar kerajaan atau dalam sebuah kerajaan. Atas bantuannya tersebut, VOC
biasanya diberikan hadiah berupa hak penguasaan atas wilayah tertentu. Jadi,
kekuatan armada VOC pada abad 18 sebenarnya tidak jauh berbeda dengan kekuatan
kerajaan-kerajaan lokal, bahkan terkadang justru kerajaan lokal memiliki
pasukan yang jauh lebih kuat daripada armada VOC itu sendiri. Olehnya itu, Van
Leur menyatakan bahwa sejarah Hindia Belanda (Indonesia) tidak boleh disamakan
dengan sejarah Kompeni (Kolonial) abad ke-17. Meskipun demikian, Van Leur
memuji karya Raffles “History of Java” yang berhasil menjelaskan kebudayaan Jawa
dengan baik dan tak ada taranya.
Penulisan sejarah Indonesia menjadi menarik dengan
kehadiran karya Van Leur dengan mengemukakan sebuah perspektif baru dalam
menulis sejarah Indonesia, perspektif orang Indonesia atau dalam sebutan
beliau, menghadirkan orang Indonesia dalam penulisan sejarahnya. Perspektif
inilah yang menjadi dasar kehadiran historiografi Indonesiasentris. Konstribusi
penting Van Leur membuka wacana baru dalam penulisan sejarah, karena yang
terpenting dalam historiografi yakni menghadirkan data-data baru yang bersifat
lokal. Hal ini dimaksudkan sebagai upaya menulis sejarah yang lebih berimbang
lagi dan benar-benar komprehensif. Inilah pelajaran penting dari karya Van Leur
ini, yakni meletakkan arah baru (perspektif) penulisan sejarah Indonesia.
Artinya tulisan yang tidak hanya berdasarkan pandangan kaum kolonial saja,
tetapi menghadirkan pandangan orang Indonesia atas sejarahnya sendiri dengan
menjadikan sumber-sumber lokal (historiografi tradisional) sebagai sumber
sejarah dalam penulisan sejarah.
Kepeloporan Sartono Kartodirdjo
dalam Historiografi Indonesia Modern
Prof Dr A
Sartono Kartodirdjo, Guru Besar Ilmu Sejarah Universitas Gadjah Mada (UGM),
Yogyakarta. Ia merupakan penulis buku Pengantar Sejarah Indonesia Baru,
kelahiran Wonogiri, Jawa Tengah, 15 Februari 1921. Sebagai seorang penulis
sejarah, ia memperkenalkan pendekatan multidimensi dalam penulisan sejarah.
(Sumber: http://www.tokohindonesia.com/biografi/article/285-ensiklopedi/2284-mahaguru-sejarah-indonesia,
diunduh pada Minggu 26 Mei 2013). Sebelum menjadi guru, pria yang
akrab disapa Sartono ini menyelesaikan pendidikan di HIS, MULO, dan HIK. Saat
bersekolah di HIK (sekolah calon bruder).
Saat usianya menginjak 44 tahun,
Sartono menyelesaikan pendidikan sarjana di Fakultas Sastra Universitas
Indonesia di sela-sela kegiatan mengajar di salah satu sekolah yang ada di
Jakarta. Lalu melanjutkan pendidikan master degree di Universitas Yale, Amerika
Serikat setelah sebelumnya mengajar di Universitas Gajah Mada Jogjakarta dan
IKIP Bandung. Ia lulus pada tahun 1964 disusul melanjutkan pendidikan
doktoralnya dua tahun kemudian.
Sebagai sejarawan dan ilmuan
sosial-humaniora yang terkemuka, Sarton Kartodirjo dapat disejajarkan dengan
tokoh-tokoh ilmuan Indonesianis internasional lainnya, seperti J.D. Legge,
Herbert Feith, G. McT. Kahin, H.J. Benda dan W.F. Wertheim (keduanya adalah
gurunya) serta B. R. O’G. Anderson dan M.C. Ricklefs. Karya dan sumbangannya
telah banyak memberikan sumbangan besar dalam perkembangan ilmu pengetahuan di
Indonesia (Nursam, 2008 : ix). Sartono Kartodirjo merupakan tokoh pembeharu
dalam peletak dasar bagi perkembangan kaian sejarah kritis atau modern.
Sartono menganjurkan dalam rangka
penyusunan historiografi modern, agar digunakan corak Indonesiasentrisme, yang
lebih menekankan penempatan peran bangsa Indonesia sebagai pelaku utama dalam
perjalanan sejarahnya. Hal ini perlu diterapkan untuk menggantikan corak
Eropanesentrisme yang telah menguasai dengan kecenderungan penempatan peran
orang Eropa sebagai pelaku utama dalam sejarah Indonesia.
Dalam pengantar buku Membuka Pintu bagi Masa Depan :
Biografi Sartono Kartodirjo (Kompas; 2008),
menegaskan pemikiran lain dari Sartono Kartodirjo adalah peningnya penggunaan
pendekatan interdisipliner, multidisipliner atau pendekatan ilmu-ilmu sosial
dalam kajian sejarah. Pendekatan ini terutama ditunjukkan dalam kajian tentang
sejarah ssosial di Indonesia, terutama dalam kajian pemberontakan kaum petani
terhadap kaum penguasa pada masa kolonial dan gerakan-gerakan protes sosial
dari kelompok masyarakat kecil yang terpinggirkan. Kedua hal tersebut tercakup
dalam karyanya yang berjudul The
Peasant’s Revolt of Banten in 1888, Its Conditions, Course and Sequel : A Case
Study of Social Movements in Indonesia (‘s-Gravenhage: Martinus Nijhoff, 1966),
dan Protest Movements in Rural Java:
A Study of Agrariant Unrest in the Nineteenth and Early of Twentieth Centuries
(Singapore, etc: Oxford University Press, 1973).
Dalam disertasi (The Peasants’ Revolt of Banten in 1888, It’s
Conditions, Course and Sequel: A Case Study of Sosial Movements in Indonesia)
yang ia buat untuk meraih gelar doktoralnya dinilai banyak orang sebagai
jembatan perkembangan ilmu sejarah di Indonesia. Ia menganggap bahwa disertasinya
merupakan bentuk protes terhadap penulisan sejarah Indonesia yang konvensional
dan Neerlandosenteris. Sartono Kartodirjo mencoba mengubah pandangan dengan
keberanian dari gerakan sosial yang dilakukan oleh petani untuk melawan
ketidakadilan. Tidak hanya itu, Sartono juga mencoba menghilangkan virus
inferior pada bangsa asing yang saat itu banyak menjangkiti masyarakat
Indonesia.
Namun, dalam buku Membaca Postkolonialitas (di) Indonesia (2008:42)
mengungkapkan bahwa memang benar study Sartono tentang pemberontakan petani
Banten sebenarnya mengalihkan sejarah Indonesia dari kajian yang hanya membahas
tentang penguasa kolonial atau kerajaan menjadi pembahasan tentang masyarakat
kebanyakan. Selian itu, ia juga mulai beralih dari fiologi ke arah penulisan
dengan pendekatan ilmu-ilmu sosial, dengan pendekatan multimensional yang
menjadi ciri penting perkembangan historiografi selanjutnya.
Penggunaan pendekatan
interdisipliner, multidisipliner atau pendekatan ilmu-ilmu sosial dalam kajian
sejarah dimaksudkan bahwa bahwa ilmu sejarah bukanlah sekedar narasi , tidak
hanya menggunakan ilmu sejarah saja, tetapi harus memanfaatkan bantuan ilmu
antropologi, sosiologi, berikut disiplin ilmu-ilmu lain. Selain itu, karena
menulis sejarah Indonesia, maka cara pendekatannya memang harus
Indonesiasentris dan jangan sampai terpesona dengan aneka ragam kisah raja-raja
atau orang besar. Sebab rakyat, petani, dan wong cilik juga punya peran sangat
bermakna yang juga ikut membentuk sejarah.
Karya –
Karya Sartono Kartodirdjo
- Indonesia Historiography, 2001
- Modern Indonesia, Tradition and Transformation, 1984
- Ratu Adil, 1984
- Protest Movement in Rural Java, Oxford University, 1973
- The Peasant Revolt of Banten in 1888, 1966
- Pengantar Sejarah Indonesia Baru, Jilid I Zaman Kerajaan dan Jilid II Pergerakan Sejarah Nasional
- Pemberontakan Petani Banten 1888: Kondisi, Jalan Peristiwa dan Kelanjutannya - Sebuah Studi Kasus mengenai Gerakan Sosial di Indonesia, 1984
- Pemikiran dan Perkembangan Historiografi Indonesia: Suatu Alternatif, 1982
- Sejarah Nasional Indonesia, 1976
- Arit dan Bulan Sabit: Pemberontakan Komunis 1926 di Banten, 1982
- Sejarah Perkebunan di Indonesia: Kajian Sosial Ekonomi
- Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah, 1993
- Ungkapan-ungkapan Filsafat Sejarah Barat dan Timur, 1986
- Revolusi Prancis, 1989
- Kebudayaan Pembangunan dalam Perspektif Sejarah: Kumpulan Karangan, 1987
- Masyarakat Kuno dan Kelompok-kelompok Sosial, 1977
- Dari Raja Ali Haji Hingga Hamka: Indonesia dan Masa Lalunya, 1983
- Kepemimpinan dalam Dimensi Sosial, 1984
- Elite dalam Perspektif Sejarah, 1981
- Sejak Indische sampai Indonesia
- Komunikasi dan Kaderisasi dalam Pembangunan Desa
- Modern Indonesia, Tradition & Transformation: A Socio-historical Perspective
- Perkembangan Peradaban Priyayi
- Pembangunan Bangsa tentang Nasionalisme, Kesadaran dan Kebudayaan Nasional
- Multidimensi Pembangunan Bangsa: Etos Nasionalisme dan Negara Kesatuan
- Ideologi dan Teknologi dalam Pembangunan Bangsa: Eksplorasi Dimensi Historis dan Sosio-kultural : Kumpulan Tulisan
- Peristiwa Cimareme Tahun 1919: Perlawanan H. Hasan terhadap Peraturan Pembelian Padi
PENUTUP
J.C. Van Leur dan Sartono
Kartodirdjo merupakan tokoh penting dalam perkembangan ilmu pengetahuan di
Indonesia khususnya dalam penulisan sejarah. Keduanya adalah peletak dasar dari
adanya pandangan Indonesiasentris dalam penulisan historiografi modern dengan
meletakkan orang-orang Indonesia sebagai pelaku utama dari sejarah Indonesia. Apa
yang dilakukan mereka berdua adalah dengan mengubah adanya pandangan religio-magis serta kosmologis diganti dengan pandangan
empiris-ilmiah, adanya pandangan etnosentrisme
diganti dengan pandangan nationsentris dan adanya pandangan sejarah kolonial-elitis diganti dengan sejarah bangsa
Indonesia secara keseluruhan yang mencakup berbagai lapisan sosial. Sehingga
melalui karya-karyanya mereka mampu mengungkapkan
dinamika masyarakat Indonesia dari berbagai aspek kehidupan yang kemudian dapat
dijadikan bahan kajian untuk memperkaya penulisan sejarah Indonesia.
Referensi
Kuntowijoyo.
2003. Metodologi Sejarah. Yogyakarta:
Tiara Wacana.
Nursam,
M. 2008. Membuka Pintu bagi Masa Depan:
Biografi Sartono Kartodirjo. Jakarta: Kompas.
Susanto,
Budi. 2008. Membaca Postkolonialitas (di)
Indonesia. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
http://www.tokohindonesia.com/biografi/article/285-ensiklopedi/2284-mahaguru-sejarah-indonesia, diunduh pada
Minggu 26 Mei 2013
http://clio1673.blogspot.com/2013/01/jc-van-leur-abad-ke-18-sebagai-kategori.html, diunduh pada Minggu 26 Mei 2013
http://clio1673.blogspot.com/2013/01/review-artikel-mahan-di-meja-baca-india.html diunduh pada Minggu 26 Mei
2013