Kota adalah
pusat kehidupan yang dapat dilihat dari berbagai macam sudut pandang
pendekatan. Aspek tersebut memberikan gambaran bahwa kota menjadi tempat
manusia atau masyarakat
berperilaku mengisi aktifitas kehidupannya sehari-hari. Dengan berperilaku
manusia dapat dilihat melalui teropong sosiologi maupun antropologinya, atau
dapat juga dilihat dari aspek fisik perkotaan yang akan memberikan kontribusi
pada perilaku sosio-antropologinya (manusia dan struktur sosialnya).
Antropologi Perkotaan
Antropologi perkotaan berasal dari dua istilah atau dua konsep, yaitu
antropologi dan perkotaan. Makna dari istilah atau konsep antropologi perkotaan
adalah pendekatan-pendekatan antropologi mengenai masalah-masalah perkotaan.
Yang dimaksud dengan pendekatan-pendekatan antropologi adalah
pendekatan-pendekatan yang baku yang menjadi ciri-ciri dari metodologi yang ada
dalam antropologi, dan yang dimaksudkan dengan pengertian masalah-masalah
perkotaan adalah masalah-masalah yang muncul dan berkembang dalam kehidupan
kota dan yang menjadi ciri-ciri dari hakekat kota itu sendiri yang berbeda dari
ciri-ciri kehidupan desa.
Kota dengan
demikian diperlakukan sebagai konteks atau variabel yang menjelaskan keberadaan
permasalahan yang ada di dalam kehidupan perkotaan, dan kota adalah juga
sebagai permasalahan perkotaan itu sendiri.
Perbandingan Kota dengan Desa
Dalam peradaban modern, dominasi kota telah
diidentifikasikan dengan dua fenomena. Pertama, kontak desa dan kota telah
menjadi lebih erat dan lebih banyak bila dibandingkan dengan sebelumnya. Kedua,
penduduk kota semakin besar bila dibandingkan dengan desa.
Karena
persoalan yang lebih kompleks dan sulit, membuat orang kota lebih unggul
daripada orang desa secara kualitas maupun kuantitas. Yang dimaksud kualitas
adalah kemampuan untuk mengantisipasi kebutuhan dan kepentingan masyarakat guna
meningkatkan taraf dan mutu hidup anggotanya. Sementara yang dimaksud dengan
kuantitas adalah jumlah dan aneka ragam lembaga pranata, dan sarana lain yang
tersedia untuk memenuhi kebutuhan dan kepentingan anggotanya.
Masyarakat Perkotaan
Kota menurut definisi universal adalah sebuah area urban yang berbeda dari
desa ataupun kampong berdasarkan ukuranya, kepadatan penduduk, kepentingan atau status hukum.
Beberapa definisi (secara etimologis) “kota” dalam bahasa lain yang agak tepat
dengan pengertian ini, seperti dalam bahasa Cina, kota artinya dinding dan dalam bahasa Belanda kuno, tuiin, bisa berarti pagar. Jadi dengan demikian kota adalah batas. Selanjutnya masyarakat perkotaan sering disebut juga
urban community. Pengertian masyarakat kota lebih ditekankan pada sifat-sifat
kehidupanya serta cirri-ciri kehidupanya yang berbeda dengan masyarakat
pedesaan.
Ada beberapa
ciri yang menonjol pada masyarakat kota, yaitu:
1.
Kehidupan keagamaan berkurang bila dibandingkan dengan
kehidupan keagamaan di desa.
2.
Orang kota pada umumnya dapat mengurus dirinya sendiri
tanpa harus bergantung pada orang lain.
3.
Pembagian kerja diantara warga-warga kota juga lebih
tegas dan mempunyai batas-batas yang nyata.
4.
Kemungkinan-kemungkinan untuk mendapatkan pekerjaan
juga lebih banyak diperoleh warga kota daripada warga desa.
5.
Jalan pikiran rasional yang pada umumnya dianut
masyarakat perkotaan, menyebabkan bahwa interaksi-interaksi yang terjadi lebih
didasarkan pada faktor kepentingan daripada faktor pribadi.
6.
Perubahan-perubahan sosial tampak dengan nyata di
kota-kota, sebab masyarakat kota biasanya lebih terbuka dalam menerima hal-hal
baru.
Kondisi-kondisi
yang diperlukan bagi suatu kota (city)
ada enam :
a)
pembagian kerja dalam spesialisasi yang
jelas
b)
organisasi sosial leboh berdasarkan
pekerjaan dan kelas sosialdari pada kekeluargaan
c)
lembaga pemerintahan lebih berdasarkan
teritorium dari pada kekeluargaan
d)
suatu sistem perdagangan dan pertukangan
e)
mempunyai sarana komunikasi dan
dokumentasi
f)
berteknologi yang rasional
Makin
besar pertambahan penduduk, makin menjadi jelas corak kekotaan suatu tempat.
Dalam rangka urbanisasi, ini tampaknya dipedesaan yang letaknya mengelilingi
kota-kota. Disitu kepadatan penduduk mendorong manusia mencari
nafkah dari bidang non-agraris seperti perdagangan, industri,
dan perkantoran.
Ikatan
sosial berdasarkan tradisi menjadi lemah, luntur atau menghilang. Dengan
demikian perubahan-perubahan tersebut mengubah ikatan antar manusia, begitu
pula bentuk-bentuk kehidupan dan pertanyaan serta sikap rohaninya.
Secara umum dapat dikenal bahwa suatu lingkungan perkotaan seharusnya
mengandung lima unsur yang meliputi:
·
Wisma
·
Karya
·
Marga
·
Suku
·
Penyempurnaan
Masyarakat Kota Sebagai Community
Adalah suatu
kelompok teritorial di mana penduduknya menyelenggarakan kegiatan-kegiatan hidup sepenuhnya.
Dengan demikian, suatu community memiliki ciri-ciri: 1. berisi kelompok
manusia, 2. menempati
suatu wilayah geografis, 3. mengenal pembagian kerja ke dalam spesialisasi dengan fungsi-fungsi yang saling tergantung, 4. memiliki kebudayaan dan sistem sosial bersama yang
mengatur kegiatan mereka, 5. para anggotanya sadar akan kesatuan serta kewargaan mereka dari community, dan 6. mampu berbuat secara kolektif menurut cara
tertentu. Hal ini dapat diperjelas lagi bahwa community dapat dibagi menurut jenisnya menjadi empat jenis
community: Rural, Fringe (pinggiran), Town, dan Metropolis.
Peradaban Kota
Secara lebih khusus, ”peradaban” dapat juga dirimuskan
sebagai tingkat kemampuan seseorang atau masyarakat untuk menciptakan atau
merumuskan ketentuan-ketentuan bagi pengaturan tata kehidupannya dalam
hubungannya dengan lingkungan sosial maupun lingkungan alam, serta tingkat
kemampuan seseorang atau masyarakat itu untuk mematuhi dan menaati
ketentuan-ketentuan itu. Maka komunitas kota dapat dikatakan memiliki peradaban yang lebih tinggi,
bukan kebudayaan. Komunitas kota lebih berorientasi kepada hal-hal yang bersifat material dan
rasional sehingga hubungan menjadi impersonal dan sekunder, bukan lagi “relation
oriented”. Individu menjadi teratomisasi dan teranomisasi sehingga
masing-masing harus mencari jalannya sendiri-sendiri untuk tetap hidup.
Karena banyaknya dan bervariasinya tuntutan dalam
bertingkah laku dan bertindak sebagai anggota masyarakat yang berorientasi pada
(goal) dan pencapaian (achievement) maka gaya hidup masyarakat kota lebih
diarahkan pada penampilan fisik dan kualitas fisik sehingga tampak civilized. Gejala lain dalam komunitas kota adalah adanya
kecenderungan masyarakat menjadi masyarakat massa (mass society) dimana
individu kehilangan identitas pribadinya.
Tapi, di balik apa yang dikemukakan di atas, terdapat
pandangan yang melihat kota sebagai mempunyai peranan yang penting di dalam
kehidupan masyarakat umum dan bangsa. Karena kota merupakan pusat kekuasaan,
ekonomi, pengetahuan, inovasi, dan peradaban maka kehidupan kota dapat membawa
dan mengarahkan kehidupan masyarakat umum kepada peningkatan kualitas hidup
manusia. Keadaan ini sebanding dengan arti “sivilitas” yang berarti kualitas
tertinggi pada masyarakat manusia.
Sekularisasi mencapai puncaknya dalam masyarakat
modern, yang mempengaruhi hampir semua bidang perilaku, dan meluas ke kalangan
penduduk. Pendekatan
kehidupan kota sebagai jaringan sistem yang utuh memang diperlukan untuk
memperoleh pengertian yang jelas dan mendalam mengenai kondisi dan proses
kemajuan dan atau kemunduran kehidupan dan peradaban kota.
Kota dan Kelompok Kerabat
Sejalan dengan berkembangnya kota, terutama dalam hal
jumlah penduduknya, maupun tuntutan sejumlah kebutuhan (ekonomi, politik, dan
sosial budaya lainnya ) maka organisasi-organisasi keluarga juga cenderung
berkembang meluas menjadi organisasi regional, yang tentunya mempunyai
fungsi-fungsi yang harus dipenuhi, kalau tidak mau tenggelam dalam situasi
anomik, individualisme, dan lain-lainnya yang bersifat disintegratif. Dengan
kata lain alasan-alasan fundamental pembentukan asosiasi regional ialah karena
asosiasi ini dapat berfungsi secara efektif sebagai suatu mekanisme adaptif
dalam kota-kota yang besar. Asosiasi-asosiasi regional lebih bertujuan untuk
memodernisasi dan menempatkan kesejahteraan umum para anggotanya. Di dalamnya
terdapat suatu perasaan persaudaraan tanpa memandang pada kekayaan, pendidikan,
ataupun jabatan. Sehingga keadaan itu akan meratakan jalan bagi terbentuknya status “urban”
yang dibedakan dari status “rural”, dan menimbulkan kesadaran klas, bukannya
kesadaran kesukuan.
Kota dan Kemiskinan
Salah satu masalah yang mendapat sorotan dari para
antropolog adalah masalah kemiskinan yang dialami oleh golongan tertentu dalam
kota-kota besar. Budaya kemiskinan (culture of poverty) merupakan interpretasi
kemiskinan sebagai gaya hidup yang bersifat integral, di mana terjadi
bentuk-bentuk tertentu dari penyesuaian dan partisipasi terhadap dunia yang ada
di sekelilingnya.
Munculnya budaya khusus tentang kemiskinan yang
menentukan sepenuhnya hubungan antara individu dan kepribadian kaum miskin. Lalu
apa penyebab kemiskin itu, kemudian di paparkan sebagai berikut: - kemiskinan
yang bersifat cultural, -
kemiskinan dan budaya dua-duanya terletak dalam lingkaran setan, dan - orang miskin dapat disosialisasikan pula di
dalam budaya kemiskinan itu yang mewujudkan budaya yang dominan baginya.
Kemudian ada lima jenis kebijakan dalam memecahkan
masalah kawasan kumuh di perkotaan: a) Sikap laisser fair, pemerintah membiarkan dibangunan perumahan liar mengikuti permainan ekonomi, b) Alamist approach, pendekatan
yang memandang bermunculannya gubug-gubug reyot kaum papa sebagai ancaman; c)
Pendekatan sesisi (partial approoach), pemerintah memberikan subsidi
kepada perushaan swasta yang mendidrikan perumahan bagi penduduk yang mampu
membayar secara kredit, d) Total
approach, pendekatan menyeluruh, pemerintah mendirikan secara besar-besaran
perumahan untuk kaum ekonomi lemah, dan e) Pendekatan progresif (progresisive approach), pemecahan
bersama penghuninya.
Urbanisasi
PJM. Nas (1979:42), berbendapat bahwa urbanisasi adalah proses yang digerakkan oleh
perubahan-perubahan struktural dalam masyarakat, sehingga daerah-daerah yang
dulu merupakan daerah pedesaan dengan struktur mata pencaharian yang agraris
maupun sifat kehidupan masyarakat lambat laun atau melalui proses yang mendadak
memperoleh sifat kehidupan kota. Urbanisasi yang berarti “gejala perluasan
pengaruh kota ke pedesaan, baik dilihat dari sudut morfologi, ekonomi, sosial,
maupun sosial-psikologis”.
Penelitian urbanisasi itu dapat dirinci ke dalam pengertian-pengertian
berikut :
a. Arus perpindahan penduduk dari
desa ke kota.
b. Bertambah besarnya jumlah tenaga
kerja non agraris di sektor industri dan sektor tersier.
c. Tumbuhnya pemukiman menjadi kota.
d. Meluasnya pengaruh kota di
daerah-daerah pedesaan dalam segi ekonomi, sosial, budaya dan psikologi.
Tetapi pada umumnya orang mengartikan urbanisasi itu
hanya sebagai mengalirnya perpindahan penduduk dari pedesaan ke kota-kota, dan
dipandang sebagai penyebab utama terjadinya berbagai masalah sosial. Migrasi ke kota terjadi karena
adanya perbedaan kemajuan antara kota dan desa. Kehidupan kota yang jauh lebih
enak, banyak kesempatan kerja yang bisa diperoleh di kota, mengundang penduduk
desa untuk datang ke kota.
Sikap Manusia
Terhadap Kota
Dalam
menilai kota terdapat polarisasi antara dua faham. Golongan kolot, yakni para
lokalis yang lebih berpangkal pada
emosi, pengamatan pribadi, dan nostalgi. Mereka berpendapat bahwa yang ada tak
usah dirubah, demi nilai sejarahnya. Golongan cosmopolitans, menghendaki perubahan drastis, yakni supaya wajah
kota dirubah, sehingga lebih nampak corak modern dan internasional. Bagi
localis ini berarti perlindungan terhadap yang ada. Sedangkan bagi
cosmopolitans, itu berarti pemugaran yang disertai pertimbangan penggunaan
ruang secara efektif dan kreatif.
Dalam
filsafat mengenai kota dibicarakan pula faham mereka yang disebut “pembenci
kota” dan “pencinta kota”. Para pembenci kota terdiri atas mereka yang putus
asa dalam menghadapi kebobrokan kehidupan dalam kota. Kota mereka pandang
sebagai sumber gejala kekerasan, pemabukan, penyakit jiwa, kejahatan, frustrasi,
perceraian, dan sebagainya.
Kota dan Proses Pengasingan
Dalam
masyarakat modern di kota-kota besar sering terjadi apa yag disebut proses
keterasingan (alienation). Proses
terjadi karena orang tidak mempunyai perasaan ikut memiliki fasilitas, lembaga,
dan kesempatan. Sehingga karena itu orang-orang terasing tersebut merasa tidak
menjadi bagian dari masyarakat kota. Perasaan keterasingan menyebabkan
hilangnya rasa tanggungjawab bahkan ketidak perdulian. Tidak adanya
tanggungjawab dan kepedulian tersebut menimbulkan sikap non-partsipasif.
Itulah sebabnya
kota-kota besar itu cenderung kotor. Sebab warganya tidak merasa ikut memilikidan
karena itu tidak merasa berkewajiban untuk memlihara berbagai faslitas fisik
yang telah disediakan oleh pemerintah. Gejala kekotoran berkorelasi dengan
kepadatan penduduk dan kemiskinan.
Seluk Beluk Kota Semarang
Beberapa hal yang patut diketahui mengenai gaya hidup masyarakat kota Semarang:
Makanan
Di Jogja terkenal
dengan angkringan sedangkan di Semarang terkenal dengan kucingan. Kucingan atau
nasi kucing adalah tempat makan yang menyediakan makanan berupa nasi bungkus,
lauk-pauk (sate, ayam,tempe dsb), Biaya makanan disini murah, karena jika
nongkrong di kucingan, maka satu bungkus nasi kucing hanya berkisar 1500 hingga
2 ribu perak. Menunya pun beragam, mulai dari nasi ayam, nasi tempe, nasi remes
dan banyak lagi. Kucingan menjadi alternatif tempat nongkrong tersendiri bagi
muda-mudi di kota Semarang. Masyarakat Semarang rela berlama-lama di kucingan
hanya untuk menikmati minuman dan makanan bersama teman-teman mereka.
Selain itu,
tempat-tempat makan dikota juga begitu murah. Coba bandingkan dengan harga yang
ada di Jakarta atau Kalimantan bahkan kota lainnya. Bisa ditebak, perbandingan
3x lipat. Ya inilah kota Semarang yang terkenal dengan keramahtamahan
masyarakatnya.
Lifestyle (fashion)
Mungkin bila
orang dari Jakarta atau kota lain akan terheran-heran dengan penampilan orang Semarang.
Sebagai masyarakat yang terkenal keramahtamahannya ini (sangat halus)
penampilan mereka pun begitu apa adanya.
Ketika di pusat keramaian,
mungkin penduduk keturunan china yang begitu kelihatan menonjolkan fashionnya.
Tetapi jika bertemu dengan orang asli Semarang, mereka akan terlihat santun
dengan style mereka, rapi, apa adanya dan pastinya tidak norak.
Urbanisasi Kota Semarang
Kota Semarang
saat ini telah mengalami deindustrialisasi. Akibat dari dampak urbanisasi
berlebih, dimana tingkat urbanisasi tidak diimbangi tingkat industrialisasi.
Bahkan, kepadatan penduduk kota Semarang juga telah menyebabkan daya dukung
lingkungan dan daya tampung sosial menjadi rendah. Hal itu dikemukan Dosen
Teknik Sipil Universitas Negeri Semarang, Ir. Saratri Wilonoyudho, M.Si., dalam
ujian terbuka promosi doktor bidang prodi Ilmu Kependudukan Sekolah
Pascasarjana UGM yang berlangsung di ruang auditorium Fakultas Geografi, Sabtu
(19/11).
Saratri
menegaskan kota Semarang terjadi kecenderungan urbaniasasi dengan pola menyebar
yang ditandai pertumbuhan penduduk perkotaan yang tinggi di kabupaten-kabupaten
di sekitar kota Semarang. Selain, berdampak pada kerusakan lingkungan, kemacetan
lalu lintas dan tingginya angka kejahatan, peran sektor industri dan pertanian
di Kota Semarang cenderung menurun, sebaliknya sektor informal justru semakin
meningkat. “Urbanisasi di kota Semarang justru memunculkan gejala involusi kota
yakni terus meningkatnya jumlah pekerja di sektor informal dengan produtivitas
rendah, sebagaimana ditunjukkan pada PDRB (produk domestik regional bruto)
sektor industri di kota Semarang yang relatif kecil dibandingkan PDRB di sektor
jasa atau perdagangan,” katanya.
Dia
menyebutkan, arus migrasi masuk ke kota Semarang dilihat dari kelompok umur
25-29 sampai 35-39 baik laki-laki maupun perempuan telah terjadi kenaikan yang
cukup tajam. Tahun 1997, kelompok umur 25-29 jumlah penduduk laki-laki sekitar
56.409 dan penduduk perempuan 57.827, sepuluh tahun kemudian atau tahun 2007,
jumlahnya melonjak tajam, yakni masing-masing 78.093 untuk laki-laki dan 77.228
untuk perempuan. Sebagian besar bekerja disektor informal atau jasa sebesar
81,9%. Dan hanya 18,09 % yang bekerja di sektor industri.
Akibat dari
dampak urbanisasi berlebihan tersebut, katanya, pemerintah kota Semarang
kelebihan beban anggaran karena harus membiayai infrastruktur dan pelayanan
sosial ekonomi dengan biaya tinggi yang tidak sebanding dengan produktivitas
sebagian besar warganya yang bekerja di sektor informal. Namun demikian,
imbuhnya, kota Semarang masih memiliki peluang untuk menata ulang perencanaan
kota karena kota belum overpopulated
seperti Jakarta karena ruang terbuka di kota ini masih cukup luas. “Kebijakan
untuk mengurangi arus migrasi harus dilakukan secara silmultan baik antara
kebijakan pembangunan di tingkat nasional dan regional, maupun antara pedesaan
dan perkotaan,” katanya.
Menurutnya,
kebijakan pembangunan pusat -pusat industri yang padat modal ditinjau kembali,
industri kecil dan menengah yang berbasis pertanian perlu dikembangkan agar
para petani dan buruh tani turut menikmati hasilnya. Tuntutan ini dikedepankan
karena hasil penelitian ini menunjukkan bahwa buruh tani, petani dan pekerja tidak
terampil sangat kecil penghasilannya. Strategi pemanfaatan kota sebaiknya
diarahkan untuk lebih memperjelas hirarkhi kota dengan menghindari dominasi
kota Semarang terhadap daerah di belakangnya tersebar dan diharapkan dapat
lebih menyebarkan hasil-hasil pembangunan.
Kesimpulan
Permasalahan
perkotaan yang menjadi sasaran kajian antropologi perkotaan berpangkal pada
kebudayaan perkotaan dan pranata-pranata sosial yang hidup dan berkembang di
kota. Dari kajian utama mengenai kebudayaan dan pranata-pranata sosial
tersebut, kehidupan sehari-hari, pola-pola kelakuan, kehidupan komuniti,
ekonomi, hubungan antar sukubangsa atau antar etnik, kemunculan dan mantapnya
golongan-golongan sosial, hierarki dan stratifikasi sosial, kemiskinan,
kekumuhan, permasalahan permukiman, rumah, hunian serta berbagai masalah lain
itu dilihat keberadaannya, hakekatnya, dan kecenderungan-kecenderungannya
sebagai mengacu pada kondisi-kondisi kota yang merupakan lingkungan hidup
perkotaan.
Kajian
antropologi perkotaan bukanlah kajian yang hanya memperlakukan kota sebagai
latar, atau lokasi dilakukannya penelitian, atau sebuah situs tempat kajian
masalah yang diteliti yang terwujud sebagai kajian sosial-mikro itu dilakukan,
atau kajian tempat hidupnya komuniti miskin. Kajian-kajian yang tercakup dalam
antropologi perkotaan harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1.
Kajian atau penelitian yang dilakukan harus dapat
mendefinisikan kota atau kota-kota yang tercakup dalam kajiannya sebagai bagian
yang tidak terpisahkan dari sasaran konseptual dari penelitiannya.
2.
Kajian atau penelitian yang memfokuskan pada melihat
penelitian silang budaya harus tidak terpaku pada model urbanisme yang telah
terjadi di kota-kota di dunia Barat, tetapi betul-betul harus dapat menggali
dan menemukan pola-pola yang berlaku secara empirik dalam kehidupan kota-kota
yang ditelitinya.
Harus menggunakan pendekatan yang holistik mengenai
kota dan berbagai kaitan hubungan kota tersebut dengan pola-pola kelakuan dan
pola-pola budaya dengan masyarakat yang lebih luas.
Sumber:
Asmarie. 2010. Gaya Hidup Orang
Semarang. Tersedia di [http://asmarie.blogdetik.com/2010/12/14/gaya-hidup-orang-semarang/].
Diunduh pada 01 April 2013.
Daldjoeni, N.
1978. Seluk Beluk Masyarakat Kota.
Bandung: Penerbit Alumni.
Hans, Dieter
Evers. 1986. Sosiologi Perkotaan
Urbanisasi dan Sengketa Tanah di Indonesia dan Malaysia. Jakarta: LP3ES.
Humas UGM. Urbanisasi Berlebih, Kota Semarang Mengalami Deindustrialisasi. Tersedia di [http://pslh.ugm.ac.id/id/index.php/archives/1581]. Diunduh pada 01 April 2013.
Menno, S. dan Mustamin Alwi. Antropologi Perkotaan. Diposkan
oleh Agung Wibowo. Tersedia di [http://narasibumi.blog.uns.ac.id/2009/04/14/antropologi-perkotaan/].
Diunduh pada 26 Maret 2013.
Nas, d. P.
J. M. 1979. Kota di Dunia Ketiga:
Pengantar Sosiologi Kota. Jilid 1. Jakarta: Bhratara Karya Aksara.
Rahardjo, M.
Dawam. 1999. Masyarakat madani: agama,
kelas menengah, dan perubahan sosial. Jakarta: LP3ES.
Suparlan, Parsudi. 2010. Antropologi Perkotaan.
Diposkan oleh Dwi Surti Junida. Tersedia di [http://dwiloveislam-dwie.blogspot.com/2010/10/antropologi-perkotaan.html]. Diunduh pada 25 Maret 2013.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar