Selasa, 11 Juni 2013

Antropologi Perkotaan


Kota adalah pusat kehidupan yang dapat dilihat dari berbagai macam sudut pandang pendekatan. Aspek tersebut memberikan gambaran bahwa kota menjadi tempat manusia atau masyarakat berperilaku mengisi aktifitas kehidupannya sehari-hari. Dengan berperilaku manusia dapat dilihat melalui teropong sosiologi maupun antropologinya, atau dapat juga dilihat dari aspek fisik perkotaan yang akan memberikan kontribusi pada perilaku sosio-antropologinya (manusia dan struktur sosialnya).
Antropologi Perkotaan
Antropologi perkotaan berasal dari dua istilah atau dua konsep, yaitu antropologi dan perkotaan. Makna dari istilah atau konsep antropologi perkotaan adalah pendekatan-pendekatan antropologi mengenai masalah-masalah perkotaan. Yang dimaksud dengan pendekatan-pendekatan antropologi adalah pendekatan-pendekatan yang baku yang menjadi ciri-ciri dari metodologi yang ada dalam antropologi, dan yang dimaksudkan dengan pengertian masalah-masalah perkotaan adalah masalah-masalah yang muncul dan berkembang dalam kehidupan kota dan yang menjadi ciri-ciri dari hakekat kota itu sendiri yang berbeda dari ciri-ciri kehidupan desa.
Kota dengan demikian diperlakukan sebagai konteks atau variabel yang menjelaskan keberadaan permasalahan yang ada di dalam kehidupan perkotaan, dan kota adalah juga sebagai permasalahan perkotaan itu sendiri.
Perbandingan Kota dengan Desa
Dalam peradaban modern, dominasi kota telah diidentifikasikan dengan dua fenomena. Pertama, kontak desa dan kota telah menjadi lebih erat dan lebih banyak bila dibandingkan dengan sebelumnya. Kedua, penduduk kota semakin besar bila dibandingkan dengan desa.
Karena persoalan yang lebih kompleks dan sulit, membuat orang kota lebih unggul daripada orang desa secara kualitas maupun kuantitas. Yang dimaksud kualitas adalah kemampuan untuk mengantisipasi kebutuhan dan kepentingan masyarakat guna meningkatkan taraf dan mutu hidup anggotanya. Sementara yang dimaksud dengan kuantitas adalah jumlah dan aneka ragam lembaga pranata, dan sarana lain yang tersedia untuk memenuhi kebutuhan dan kepentingan anggotanya.
Masyarakat Perkotaan
Kota menurut definisi universal adalah sebuah area urban yang berbeda dari desa ataupun kampong berdasarkan ukuranya, kepadatan penduduk, kepentingan atau status hukum.
Beberapa definisi (secara etimologis) “kota dalam bahasa lain yang agak tepat dengan pengertian ini, seperti dalam bahasa Cina, kota artinya dinding dan dalam bahasa Belanda kuno, tuiin, bisa berarti pagar. Jadi dengan demikian kota adalah batas. Selanjutnya masyarakat perkotaan sering disebut juga urban community. Pengertian masyarakat kota lebih ditekankan pada sifat-sifat kehidupanya serta cirri-ciri kehidupanya yang berbeda dengan masyarakat pedesaan.
Ada beberapa ciri yang menonjol pada masyarakat kota, yaitu:
1.             Kehidupan keagamaan berkurang bila dibandingkan dengan kehidupan keagamaan di desa.
2.             Orang kota pada umumnya dapat mengurus dirinya sendiri tanpa harus bergantung pada orang lain.
3.             Pembagian kerja diantara warga-warga kota juga lebih tegas dan mempunyai batas-batas yang nyata.
4.             Kemungkinan-kemungkinan untuk mendapatkan pekerjaan juga lebih banyak diperoleh warga kota daripada warga desa.
5.             Jalan pikiran rasional yang pada umumnya dianut masyarakat perkotaan, menyebabkan bahwa interaksi-interaksi yang terjadi lebih didasarkan pada faktor kepentingan daripada faktor pribadi.
6.             Perubahan-perubahan sosial tampak dengan nyata di kota-kota, sebab masyarakat kota biasanya lebih terbuka dalam menerima hal-hal baru.
Kondisi-kondisi yang diperlukan bagi suatu kota (city) ada enam :
a)             pembagian kerja dalam spesialisasi yang jelas
b)             organisasi sosial leboh berdasarkan pekerjaan dan kelas sosialdari pada kekeluargaan
c)             lembaga pemerintahan lebih berdasarkan teritorium dari pada kekeluargaan
d)            suatu sistem perdagangan dan pertukangan
e)             mempunyai sarana komunikasi dan dokumentasi
f)              berteknologi yang rasional
Makin besar pertambahan penduduk, makin menjadi jelas corak kekotaan suatu tempat. Dalam rangka urbanisasi, ini tampaknya dipedesaan yang letaknya mengelilingi kota-kota. Disitu kepadatan penduduk mendorong manusia mencari nafkah dari bidang non-agraris seperti perdagangan, industri, dan perkantoran.
Ikatan sosial berdasarkan tradisi menjadi lemah, luntur atau menghilang. Dengan demikian perubahan-perubahan tersebut mengubah ikatan antar manusia, begitu pula bentuk-bentuk kehidupan dan pertanyaan serta sikap rohaninya.
Secara umum dapat dikenal bahwa suatu lingkungan perkotaan seharusnya mengandung lima unsur yang meliputi:
·                Wisma
·                Karya
·                Marga
·                Suku
·                Penyempurnaan
Masyarakat Kota Sebagai Community
Adalah suatu kelompok teritorial di mana penduduknya menyelenggarakan kegiatan-kegiatan hidup sepenuhnya. Dengan demikian, suatu community memiliki ciri-ciri: 1. berisi kelompok manusia, 2. menempati suatu wilayah geografis, 3. mengenal pembagian kerja ke dalam spesialisasi dengan fungsi-fungsi yang saling tergantung, 4. memiliki kebudayaan dan sistem sosial bersama yang mengatur kegiatan mereka, 5. para anggotanya sadar akan kesatuan serta kewargaan mereka dari community, dan 6. mampu berbuat secara kolektif menurut cara tertentu. Hal ini dapat diperjelas lagi bahwa community dapat dibagi menurut jenisnya menjadi empat jenis community: Rural, Fringe (pinggiran), Town, dan Metropolis.
Peradaban Kota
Secara lebih khusus, ”peradaban” dapat juga dirimuskan sebagai tingkat kemampuan seseorang atau masyarakat untuk menciptakan atau merumuskan ketentuan-ketentuan bagi pengaturan tata kehidupannya dalam hubungannya dengan lingkungan sosial maupun lingkungan alam, serta tingkat kemampuan seseorang atau masyarakat itu untuk mematuhi dan menaati ketentuan-ketentuan itu. Maka komunitas kota dapat dikatakan memiliki peradaban yang lebih tinggi, bukan kebudayaan. Komunitas kota lebih berorientasi kepada hal-hal yang bersifat material dan rasional sehingga hubungan menjadi impersonal dan sekunder, bukan lagi “relation oriented”. Individu menjadi teratomisasi dan teranomisasi sehingga masing-masing harus mencari jalannya sendiri-sendiri untuk tetap hidup.
Karena banyaknya dan bervariasinya tuntutan dalam bertingkah laku dan bertindak sebagai anggota masyarakat yang berorientasi pada (goal) dan pencapaian (achievement) maka gaya hidup masyarakat kota lebih diarahkan pada penampilan fisik dan kualitas fisik sehingga tampak civilized. Gejala lain dalam komunitas kota adalah adanya kecenderungan masyarakat menjadi masyarakat massa (mass society) dimana individu kehilangan identitas pribadinya.
Tapi, di balik apa yang dikemukakan di atas, terdapat pandangan yang melihat kota sebagai mempunyai peranan yang penting di dalam kehidupan masyarakat umum dan bangsa. Karena kota merupakan pusat kekuasaan, ekonomi, pengetahuan, inovasi, dan peradaban maka kehidupan kota dapat membawa dan mengarahkan kehidupan masyarakat umum kepada peningkatan kualitas hidup manusia. Keadaan ini sebanding dengan arti “sivilitas” yang berarti kualitas tertinggi pada masyarakat manusia.
Sekularisasi mencapai puncaknya dalam masyarakat modern, yang mempengaruhi hampir semua bidang perilaku, dan meluas ke kalangan penduduk. Pendekatan kehidupan kota sebagai jaringan sistem yang utuh memang diperlukan untuk memperoleh pengertian yang jelas dan mendalam mengenai kondisi dan proses kemajuan dan atau kemunduran kehidupan dan peradaban kota.
Kota dan Kelompok Kerabat
Sejalan dengan berkembangnya kota, terutama dalam hal jumlah penduduknya, maupun tuntutan sejumlah kebutuhan (ekonomi, politik, dan sosial budaya lainnya ) maka organisasi-organisasi keluarga juga cenderung berkembang meluas menjadi organisasi regional, yang tentunya mempunyai fungsi-fungsi yang harus dipenuhi, kalau tidak mau tenggelam dalam situasi anomik, individualisme, dan lain-lainnya yang bersifat disintegratif. Dengan kata lain alasan-alasan fundamental pembentukan asosiasi regional ialah karena asosiasi ini dapat berfungsi secara efektif sebagai suatu mekanisme adaptif dalam kota-kota yang besar. Asosiasi-asosiasi regional lebih bertujuan untuk memodernisasi dan menempatkan kesejahteraan umum para anggotanya. Di dalamnya terdapat suatu perasaan persaudaraan tanpa memandang pada kekayaan, pendidikan, ataupun jabatan. Sehingga keadaan itu akan meratakan jalan bagi terbentuknya status “urban” yang dibedakan dari status “rural”, dan menimbulkan kesadaran klas, bukannya kesadaran kesukuan.
Kota dan Kemiskinan
Salah satu masalah yang mendapat sorotan dari para antropolog adalah masalah kemiskinan yang dialami oleh golongan tertentu dalam kota-kota besar. Budaya kemiskinan (culture of poverty) merupakan interpretasi kemiskinan sebagai gaya hidup yang bersifat integral, di mana terjadi bentuk-bentuk tertentu dari penyesuaian dan partisipasi terhadap dunia yang ada di sekelilingnya.
Munculnya budaya khusus tentang kemiskinan yang menentukan sepenuhnya hubungan antara individu dan kepribadian kaum miskin. Lalu apa penyebab kemiskin itu, kemudian di paparkan sebagai berikut: - kemiskinan yang bersifat cultural, - kemiskinan dan budaya dua-duanya terletak dalam lingkaran setan, dan - orang miskin dapat disosialisasikan pula di dalam budaya kemiskinan itu yang mewujudkan budaya yang dominan baginya.
Kemudian ada lima jenis kebijakan dalam memecahkan masalah kawasan kumuh di perkotaan: a) Sikap laisser fair, pemerintah membiarkan dibangunan perumahan liar mengikuti permainan ekonomi, b) Alamist approach, pendekatan yang memandang bermunculannya gubug-gubug reyot kaum papa sebagai ancaman; c) Pendekatan sesisi (partial approoach), pemerintah memberikan subsidi kepada perushaan swasta yang mendidrikan perumahan bagi penduduk yang mampu membayar secara kredit, d) Total approach, pendekatan menyeluruh, pemerintah mendirikan secara besar-besaran perumahan untuk kaum ekonomi lemah, dan e) Pendekatan progresif (progresisive approach), pemecahan bersama penghuninya.
Urbanisasi
PJM. Nas (1979:42), berbendapat bahwa urbanisasi adalah proses yang digerakkan oleh perubahan-perubahan struktural dalam masyarakat, sehingga daerah-daerah yang dulu merupakan daerah pedesaan dengan struktur mata pencaharian yang agraris maupun sifat kehidupan masyarakat lambat laun atau melalui proses yang mendadak memperoleh sifat kehidupan kota. Urbanisasi yang berarti “gejala perluasan pengaruh kota ke pedesaan, baik dilihat dari sudut morfologi, ekonomi, sosial, maupun sosial-psikologis”.
Penelitian urbanisasi itu dapat dirinci ke dalam pengertian-pengertian berikut :
a. Arus perpindahan penduduk dari desa ke kota.
b. Bertambah besarnya jumlah tenaga kerja non agraris di sektor industri dan sektor tersier.
c. Tumbuhnya pemukiman menjadi kota.
d. Meluasnya pengaruh kota di daerah-daerah pedesaan dalam segi ekonomi, sosial, budaya dan psikologi.
Tetapi pada umumnya orang mengartikan urbanisasi itu hanya sebagai mengalirnya perpindahan penduduk dari pedesaan ke kota-kota, dan dipandang sebagai penyebab utama terjadinya berbagai masalah sosial. Migrasi ke kota terjadi karena adanya perbedaan kemajuan antara kota dan desa. Kehidupan kota yang jauh lebih enak, banyak kesempatan kerja yang bisa diperoleh di kota, mengundang penduduk desa untuk datang ke kota.
Sikap Manusia Terhadap Kota
Dalam menilai kota terdapat polarisasi antara dua faham. Golongan kolot, yakni para lokalis yang lebih berpangkal pada emosi, pengamatan pribadi, dan nostalgi. Mereka berpendapat bahwa yang ada tak usah dirubah, demi nilai sejarahnya. Golongan cosmopolitans, menghendaki perubahan drastis, yakni supaya wajah kota dirubah, sehingga lebih nampak corak modern dan internasional. Bagi localis ini berarti perlindungan terhadap yang ada. Sedangkan bagi cosmopolitans, itu berarti pemugaran yang disertai pertimbangan penggunaan ruang secara efektif dan kreatif.
Dalam filsafat mengenai kota dibicarakan pula faham mereka yang disebut “pembenci kota” dan “pencinta kota”. Para pembenci kota terdiri atas mereka yang putus asa dalam menghadapi kebobrokan kehidupan dalam kota. Kota mereka pandang sebagai sumber gejala kekerasan, pemabukan, penyakit jiwa, kejahatan, frustrasi, perceraian, dan sebagainya.
Kota dan Proses Pengasingan
Dalam masyarakat modern di kota-kota besar sering terjadi apa yag disebut proses keterasingan (alienation). Proses terjadi karena orang tidak mempunyai perasaan ikut memiliki fasilitas, lembaga, dan kesempatan. Sehingga karena itu orang-orang terasing tersebut merasa tidak menjadi bagian dari masyarakat kota. Perasaan keterasingan menyebabkan hilangnya rasa tanggungjawab bahkan ketidak perdulian. Tidak adanya tanggungjawab dan kepedulian tersebut menimbulkan sikap non-partsipasif.
Itulah sebabnya kota-kota besar itu cenderung kotor. Sebab warganya tidak merasa ikut memilikidan karena itu tidak merasa berkewajiban untuk memlihara berbagai faslitas fisik yang telah disediakan oleh pemerintah. Gejala kekotoran berkorelasi dengan kepadatan penduduk dan kemiskinan.
Seluk Beluk Kota Semarang
Beberapa hal yang patut diketahui mengenai gaya hidup masyarakat kota Semarang:
Makanan
Di Jogja terkenal dengan angkringan sedangkan di Semarang terkenal dengan kucingan. Kucingan atau nasi kucing adalah tempat makan yang menyediakan makanan berupa nasi bungkus, lauk-pauk (sate, ayam,tempe dsb), Biaya makanan disini murah, karena jika nongkrong di kucingan, maka satu bungkus nasi kucing hanya berkisar 1500 hingga 2 ribu perak. Menunya pun beragam, mulai dari nasi ayam, nasi tempe, nasi remes dan banyak lagi. Kucingan menjadi alternatif tempat nongkrong tersendiri bagi muda-mudi di kota Semarang. Masyarakat Semarang rela berlama-lama di kucingan hanya untuk menikmati minuman dan makanan bersama teman-teman mereka.
Selain itu, tempat-tempat makan dikota juga begitu murah. Coba bandingkan dengan harga yang ada di Jakarta atau Kalimantan bahkan kota lainnya. Bisa ditebak, perbandingan 3x lipat. Ya inilah kota Semarang yang terkenal dengan keramahtamahan masyarakatnya.
Lifestyle (fashion)
Mungkin bila orang dari Jakarta atau kota lain akan terheran-heran dengan penampilan orang Semarang. Sebagai masyarakat yang terkenal keramahtamahannya ini (sangat halus) penampilan mereka pun begitu apa adanya.
Ketika di pusat keramaian, mungkin penduduk keturunan china yang begitu kelihatan menonjolkan fashionnya. Tetapi jika bertemu dengan orang asli Semarang, mereka akan terlihat santun dengan style mereka, rapi, apa adanya dan pastinya tidak norak.
Urbanisasi Kota Semarang
Kota Semarang saat ini telah mengalami deindustrialisasi. Akibat dari dampak urbanisasi berlebih, dimana tingkat urbanisasi tidak diimbangi tingkat industrialisasi. Bahkan, kepadatan penduduk kota Semarang juga telah menyebabkan daya dukung lingkungan dan daya tampung sosial menjadi rendah. Hal itu dikemukan Dosen Teknik Sipil Universitas Negeri Semarang, Ir. Saratri Wilonoyudho, M.Si., dalam ujian terbuka promosi doktor bidang prodi Ilmu Kependudukan Sekolah Pascasarjana UGM yang berlangsung di ruang auditorium Fakultas Geografi, Sabtu (19/11).
Saratri menegaskan kota Semarang terjadi kecenderungan urbaniasasi dengan pola menyebar yang ditandai pertumbuhan penduduk perkotaan yang tinggi di kabupaten-kabupaten di sekitar kota Semarang. Selain, berdampak pada kerusakan lingkungan, kemacetan lalu lintas dan tingginya angka kejahatan, peran sektor industri dan pertanian di Kota Semarang cenderung menurun, sebaliknya sektor informal justru semakin meningkat. “Urbanisasi di kota Semarang justru memunculkan gejala involusi kota yakni terus meningkatnya jumlah pekerja di sektor informal dengan produtivitas rendah, sebagaimana ditunjukkan pada PDRB (produk domestik regional bruto) sektor industri di kota Semarang yang relatif kecil dibandingkan PDRB di sektor jasa atau perdagangan,” katanya.
Dia menyebutkan, arus migrasi masuk ke kota Semarang dilihat dari kelompok umur 25-29 sampai 35-39 baik laki-laki maupun perempuan telah terjadi kenaikan yang cukup tajam. Tahun 1997, kelompok umur 25-29 jumlah penduduk laki-laki sekitar 56.409 dan penduduk perempuan 57.827, sepuluh tahun kemudian atau tahun 2007, jumlahnya melonjak tajam, yakni masing-masing 78.093 untuk laki-laki dan 77.228 untuk perempuan. Sebagian besar bekerja disektor informal atau jasa sebesar 81,9%. Dan hanya 18,09 % yang bekerja di sektor industri.
Akibat dari dampak urbanisasi berlebihan tersebut, katanya, pemerintah kota Semarang kelebihan beban anggaran karena harus membiayai infrastruktur dan pelayanan sosial ekonomi dengan biaya tinggi yang tidak sebanding dengan produktivitas sebagian besar warganya yang bekerja di sektor informal. Namun demikian, imbuhnya, kota Semarang masih memiliki peluang untuk menata ulang perencanaan kota karena kota belum overpopulated seperti Jakarta karena ruang terbuka di kota ini masih cukup luas. “Kebijakan untuk mengurangi arus migrasi harus dilakukan secara silmultan baik antara kebijakan pembangunan di tingkat nasional dan regional, maupun antara pedesaan dan perkotaan,” katanya.
Menurutnya, kebijakan pembangunan pusat -pusat industri yang padat modal ditinjau kembali, industri kecil dan menengah yang berbasis pertanian perlu dikembangkan agar para petani dan buruh tani turut menikmati hasilnya. Tuntutan ini dikedepankan karena hasil penelitian ini menunjukkan bahwa buruh tani, petani dan pekerja tidak terampil sangat kecil penghasilannya. Strategi pemanfaatan kota sebaiknya diarahkan untuk lebih memperjelas hirarkhi kota dengan menghindari dominasi kota Semarang terhadap daerah di belakangnya tersebar dan diharapkan dapat lebih menyebarkan hasil-hasil pembangunan.
Kesimpulan
Permasalahan perkotaan yang menjadi sasaran kajian antropologi perkotaan berpangkal pada kebudayaan perkotaan dan pranata-pranata sosial yang hidup dan berkembang di kota. Dari kajian utama mengenai kebudayaan dan pranata-pranata sosial tersebut, kehidupan sehari-hari, pola-pola kelakuan, kehidupan komuniti, ekonomi, hubungan antar sukubangsa atau antar etnik, kemunculan dan mantapnya golongan-golongan sosial, hierarki dan stratifikasi sosial, kemiskinan, kekumuhan, permasalahan permukiman, rumah, hunian serta berbagai masalah lain itu dilihat keberadaannya, hakekatnya, dan kecenderungan-kecenderungannya sebagai mengacu pada kondisi-kondisi kota yang merupakan lingkungan hidup perkotaan.
Kajian antropologi perkotaan bukanlah kajian yang hanya memperlakukan kota sebagai latar, atau lokasi dilakukannya penelitian, atau sebuah situs tempat kajian masalah yang diteliti yang terwujud sebagai kajian sosial-mikro itu dilakukan, atau kajian tempat hidupnya komuniti miskin. Kajian-kajian yang tercakup dalam antropologi perkotaan harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1.              Kajian atau penelitian yang dilakukan harus dapat mendefinisikan kota atau kota-kota yang tercakup dalam kajiannya sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari sasaran konseptual dari penelitiannya.
2.              Kajian atau penelitian yang memfokuskan pada melihat penelitian silang budaya harus tidak terpaku pada model urbanisme yang telah terjadi di kota-kota di dunia Barat, tetapi betul-betul harus dapat menggali dan menemukan pola-pola yang berlaku secara empirik dalam kehidupan kota-kota yang ditelitinya.
Harus menggunakan pendekatan yang holistik mengenai kota dan berbagai kaitan hubungan kota tersebut dengan pola-pola kelakuan dan pola-pola budaya dengan masyarakat yang lebih luas.
Sumber:
Asmarie. 2010. Gaya Hidup Orang Semarang. Tersedia di [http://asmarie.blogdetik.com/2010/12/14/gaya-hidup-orang-semarang/]. Diunduh pada 01 April 2013.
Daldjoeni, N. 1978. Seluk Beluk Masyarakat Kota. Bandung: Penerbit Alumni.
Hans, Dieter Evers. 1986. Sosiologi Perkotaan Urbanisasi dan Sengketa Tanah di Indonesia dan Malaysia. Jakarta: LP3ES.

Humas UGM. Urbanisasi Berlebih, Kota Semarang Mengalami Deindustrialisasi. Tersedia di [http://pslh.ugm.ac.id/id/index.php/archives/1581]. Diunduh pada 01 April 2013.

Menno, S. dan Mustamin Alwi. Antropologi Perkotaan. Diposkan oleh Agung Wibowo. Tersedia di [http://narasibumi.blog.uns.ac.id/2009/04/14/antropologi-perkotaan/]. Diunduh pada 26 Maret 2013.
Nas, d. P. J. M. 1979. Kota di Dunia Ketiga: Pengantar Sosiologi Kota. Jilid 1. Jakarta: Bhratara Karya Aksara.
Rahardjo, M. Dawam. 1999. Masyarakat madani: agama, kelas menengah, dan perubahan sosial. Jakarta: LP3ES.
Suparlan, Parsudi. 2010. Antropologi Perkotaan. Diposkan oleh Dwi Surti Junida. Tersedia di [http://dwiloveislam-dwie.blogspot.com/2010/10/antropologi-perkotaan.html]. Diunduh pada 25 Maret 2013.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar